Share |

Artikel 24

PENGAJIAN BUDAYA

Acep Zamzam Noor


SAYA sering ditanya baik oleh wartawan, peneliti, penulis, mahasiswa yang sedang menyusun tesis atau desertasi maupun teman-teman dari luar kota bahkan luar negeri, apa bedanya Sanggar Sastra Tasik (SST), Partai Nurul Sembako dan Komunitas Azan? Kurang lebih saya menjawabnya seperti ini:

SST adalah semacam laboratorium tempat teman-teman belajar dan mengapresiasi karya sastra, khususnya puisi. PNS adalah semacam partai “tandingan” yang tugasnya mengkritisi partai-partai resmi, perilaku para politisi dan broker politik, kebijakan pemda serta upaya politisasi agama yang cenderung diskriminatif di Tasikmalaya. PNS juga berusaha melakukan pendidikan politik ke tengah-tengah masyarakat dengan cara-cara yang kreatif dan berbudaya. PNS sesuai dengan namanya memang lebih politis, namun bukan politik dalam tataran praktis. PNS mengharamkan praktik-praktik perbrokeran, apalagi dengan merusak tatanan mental masyarakat.

Komunitas Azan hanyalah komunitas kesenian, tempat bertemunya para seniman, publik seni dan masyarakat umum. Dengan semangat silaturahmi Komunitas ini menggelar pentas-pentas kesenian, workshop dan diskusi budaya. Kegiatan-kegiatan ini digelar bukan semata untuk meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap kesenian, tapi juga merupakan wadah bagi pembinaan mental dan karakter masyarakat. Komunitas Azan bercita-cita ikut berperan dalam menciptakan generasi muda yang selain berilmu, berakhlak, juga berbudaya.

Ketiga “lembaga” ini sebenarnya satu, meskipun namanya berbeda-beda. Para penggiatnya pun hampir sama, hanya saja khusus untuk PNS dan Komunitas Azan selain dihuni para seniman, juga banyak dibantu mahasiswa, aktivis dan akademisi lokal yang sepaham.

***

Saat ini seluruh aktivitas Komunitas Azan diarahkan pada pembinaan untuk mencapai cita-cita tersebut. Proses pembinaan yang selama ini berlangsung, yakni melakukan kegiatan pementasan kesenian di tengah-tengah masyarakat serta diskusi budaya di kalangan santri, siswa, mahasiswa dan masyarakat umum. Semua ini dilakukan dengan semangat tinggi dan rela berkorban sehingga bisa berlangsung rutin setiap bulan, sejak awal 2001.

Embrio lahirnya Komunuitas Azan dimulai dengan terbentuknya komunitas kesenian di Tasikmalaya. Diawali oleh kegiatan seni rupa sejak awal 1990-an, lalu teater dan sastra yang berlangsung secara sporadis. Tahun 1996 berdiri Sanggar Sastra Tasik yang membina para siswa, mahasiswa, santri, para penganggur serta ibu-ibu rumahtangga yang tertarik terhadap sastra. Mereka belajar menulis dan mengapresiasi karya sastra, khusunya puisi. Proses kegiatan kesenian yang berlangsung secara terus-menerus ini akhirnya memaksa pemerintah (Pemda Tasikmalaya) mau tidak mau untuk peduli.

Pada tahun 1988 berdirilah Gedung Kesenian Tasikmalaya (GKT) di kawasan Dadaha. Sebelumnya kegiatan-kegiatan kesenian dilakukan di mana saja, seperti di GOR, di GGM, di dept store, di aula sekolah, di rumah kosong atau di mana saja di seputar kota. Dengan berdirinya GKT tugas para seniman Tasikmalaya menjadi berat karena harus mengisinya dengan kegiatan, sementara tak ada anggaran khusus dari Pemda untuk GKT. Berbagai upaya dilakukan untuk mendatangkan para seniman, grup kesenian atau para pengamat seni dari Jakarta, Bandung, Cirebon, Yogya, Solo dan Bali. Kadang untuk memberi honor mereka dilakukan bukan dengan memberi uang, tapi dengan menghadiahkan sebuah lukisan karya saya. Atau dengan cara barter, misalnya saya gantian mengisi acara di kota lain tanpa honor. Hal ini terus berlangsung hingga kini Tasikmalaya menjadi salah satu kota tujuan pentas bagi para seniman dari kota-kota lain.

Setelah kegiatan-kegiatan kesenian di kota Tasikmalaya bisa berjalan dengan rutin, dalam sejumlah diskusi timbul pemikiran baru untuk meluaskan wilayah apresiasi dan menciptakan publik-publik kesenian baru atau komunitas-komunitas baru. Bagaimanapun gedung kesenian yang berada di tengah kota merupakan tempat yang cenderung elitis karena publiknya yang sangat terbatas. Gedung kesenian harus didatangi, dan kadang menontonnya pun harus membayar. Sementara sebagian besar masyarakat kita belum mempunyai kebutuhan dan kesadaran untuk mendatangi gedung kesenian. Apalagi masyarakat di pedesaan.

Dengan dasar pemikiran tersebut, saya dan teman-teman di SST, PNS dan beberapa aktivis lain, yang selama ini menjadi motor kegiatan kesenian di Tasikmalaya membentuk wadah baru yang konsepnya sangat berbeda dengan kegiatan sebelumnya, yakni dengan mendatangkan seniman langsung ke hadapan masyarakat. Konsep ini akan mendukung kegiatan yang selama ini sudah berlangsung di pusat kota dengan memperluas wilayah publik kesenian sedikit ke pinggiran.

Agar lebih memasarakat dan tidak elitis, maka kesenian harus bisa memahami dan dipahami masyarakat. Kesenian harus diakrabkan dengan masyarakat. Dan sebaliknya masyarakat harus belajar mengapresiasi kesenian. Menjalankan konsep ini jelas sangat berat, baik dari segi tenaga maupun pendanaan. Belum lagi harus menciptakan “mujahid-mujahid” kesenian baru yang bisa membantu menjalankan kegiatan di wilayah baru ini.

Maka untuk mewujudkan konsep ini saya memulainya dari hal-hal kecil, dengan memanfaatkan apa yang ada. Saya memanfaatkan halaman rumah saya di Cipasung yang biasa dipakai untuk garasi menjadi tempat menggelar kesenian. Sebenarnya bisa juga menggunakan lapangan terbuka, baik lapangan milik desa maupun pesantren. Namun sesuatu harus dimulai dari hal-hal kecil, dari yang paling dekat dulu dengan kita. Dan lagi dalam konsep ini unsur keakraban dan kekhusyukan bersama sangat penting. Bukan semata mengejar keramaian.

Maka dimulailah menggunakan halaman rumah saya sebagai arena kegiatan gratis untuk masyarakat. Itu terjadi tahun 2001. Awalnya yang ditampilkan adalah rekan-rekannya sendiri dari Tasikmalaya dan Ciamis, lalu rekan-rekannya dari Bandung dan Yogya. Sejumlah kegiatan berlangsung dengan semangat “jihad” yang menggelora. Kadang saya terharu melihat teman-teman yang begitu bersemangat. Masyarakat sekitar pun menyambut dengan antusias. Acara-acara diskusi pun selalu dihadiri banyak orang, juga diliput berbagai media. Sebagai Komunitas yang terbuka kami mengundang semua kalangan tanpa membedakan unsur suku, agama, ras, ormas dan partai yang kemudian populer dengan istilah SAROP, sebagai perluasan dari SARA. Beberapa warga Tionghoa menjadi penonton setia, begitu juga mantan Tapol.

Kegiatan yang dilakukan Komunitas Azan ternyata menarik perhatian komunitas kesenian lain yang sudah mapan, yang kemudian menawarkan kerjasama untuk menggelar beberapa pementasan atau diskusi. Kerjasama ini menjadi tenaga (stimulan) untuk meneruskan kegiatan. Banyak pihak menganggap kegiatan ini positif sebagai upaya pencerahan masyarakat dan belum banyak dilakukan orang. Komunitas Utan Kayu dan Desantara dari Jakarta untuk beberapa lama sempat menjadi mitra kami. Begitu juga dengan lembaga-lembaga lain seperti Rahima, Wahid Institute, Pendidikan Seni Nusantara (PSN) atau Lembaga Survey Indonesia (LSI) meski hanya bersifat sporadis.

***

Merosotnya mental masyarakat, menurunnya toleransi antar umat, sikap bermusuhan dan perilaku kekerasan, orentasi yang berlebihan pada materi hingga menghalalkan segala cara untuk mendapatkanya, posisi rakyat semakin tidak berdaya di hadapan kekuasaan, krisis multi dimensi yang tak berkesudahan dan seterusnya. Komunitas Azan ingin menyikapi kondisi ini dengan berbuat sesuatu, yakni menularkan kesadaran berbudaya pada masyarakat. Kesadaran berbudaya masyarakat menjadi sangat penting mengingat perilaku-perilaku negatif yang disebut di atas banyak muncul dari kalangan masyarakan yang miskin kesadaran berbudayanya.

Selain dakwah-dakwah keagamaan yang selama ini cukup gencar digelar (meskipun banyak yang hanya permukaan), dakwah lewat kesenian juga menjadi sama pentingnya. Dakwah yang dimaksud bukan hanya dalam konteks agama tapi dalam pengertian yang lebih luas, termasuk kesadaran berbudaya. Dakwah yang mengajak masyarakat untuk menengok hati nurani dan kembali mengenali dirinya. Sebuah penelitian pernah menyimpulkan bahwa perilaku kekerasan masyarakat banyak melanda daerah-daerah yang tradisi kesenian dan tradisi karnavalnya rendah, meskipun kesadaran beragamanya tinggi.

Saya kemudian menamai kegiatan ini sebagai “Pengajian Budaya”. Istilah pengajian diambil karena mudah dipahami dan cukup memasyarakat, baik di kota maupun di pedesaan. Istilah ini juga mempunyai pengertian yang sangat luas. Bukan hanya mengaji agama, tapi juga mengaji kesadaran, mengaji diri, mengaji hati nurani, mengaji kehidupan, mengaji kesenian, mengaji budaya. Lebih jauhnya lagi mengaji toleransi terhadap berbagai keragaman yang terdapat di tengah masyarakat.

Tujuan kegiatan “Pengajian Budaya” pada awalnya adalah keinginan berbagi pengalaman, kegembiraan, kekhusyukan dan kesadaran dengan masyarakat. Dengan menampilkan kegiatan-kegitan kesenian yang ditujukan buat masyarakat diharapkan bisa memberikan pencerahan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Pencerahan dalam berpikir, bertindak dan berperilaku. Pencerahan sangat dibutuhkan ketika berbagai saluran berekspresi dalam kehidupan terasa mandeg.

Untuk sebuah perbaikan ke arah yang lebih baik tak bisa berharap hanya pada pihak tertentu saja, tapi semua pihak harus terlibat melakukan sesuatu. Perubahan di masyarakat bisa dimulai dari hal-hal kecil, hal-hal yang tidak terasa tapi sebenarnya berarti. Perubahan harus dimulai dari diri sendiri, dari keluarga, dari tetangga, dari lingkungan terdekat. Perubahan membutuhkan proses yang panjang hingga dibutuhkan kesabaran, keikhlasan dan ketahanan tanpa pamrih.

Adapun bentuk kegiatannya kemudian dilakukan Komunitas Azan adalah berupa workshop, diskusi dan apresiasi seni (pementasan kesenian -- baik kesenian tradisional, modern maupun kontemporer, tesmasuk karnaval di dalamnya). Narasumber untuk workshop dipilih dari kalangan praktisi dan akademisi, baik yang bertaraf lokal maupun nasional, yang punya kompetensi pada bidangnya (seni budaya) masing-masing. Pemilihan seniman atau grup kesenian untuk apresiasi seni dilakukan melalui sebuah proses kurasi, dengan pertimbangan bahwa karya yang dipentaskan selain bagus secara artistik juga bisa berkomunikasi dengan publik. Dengan demikian bisa memberikan pencerahan serta kesadaran baru bagi masyarakat.

Selain memberikan pencerahan, kegiatan “Pengajian Budaya” juga akan merangsang kreatifitas masyarakat. Setiap orang pasti mempunyai potensi dalam dirinya. Potensi masyarakat inilah yang harus digali. Setelah berbagai pementasan digelar di Cipasung, kini di kampung-kampung sekitar banyak muncul kelompok-kelompok kesenian baik musik, teater maupun sastra. Begitu juga di tempat-tempat lain. Sebelumnya kesenian yang hidup di wilayah ini hanyalah sebatas seni kasidahan atau dorban.

Tema karya yang ditampilkan kadang disesuaikan dengan kondisi masyarakat atau merespons situasi yang tengah berkembang, baik situasi sosial maupun politik. Kegiatan ini tentu saja menantang kreatifitas seniman untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat, dan bukan sebaliknya. Setiap pementasan selalu diakhiri dengan diskusi (dialog) antara seniman dengan penonton agar tingkat apresiasi masyarakat semakin meningkat dari waktu ke waktu. Diskusi sehabis pementasan ini kadang berlangsung sampai larut malam.

Isu atau tema-tema yang diangkat dalam diskusi meliputi beragam persoalan yang ada hubungannnya dengan kebudayaan seperti agama, pendidikan, seni, ekonomi, sosial, politik atau tema-tema lokal yang dianggap perlu. Diskusi ini menampilkan narasumber dari berbagai kalangan seperti cendekiawan, budayawan, sastrawan, ulama, ekonom, pengamat sosial dan sebagainya. Berbeda dengan pementasan kesenian yang dilangsungkan di halaman rumah saya, workshop atau diskusi selalu digelar di tempat lain. Yang paling sering adalah di GKT, juga di RSPD FM. Di radio milik pemerintah ini kami sering mengadakan talkshow yang tema-temanya justru banyak mengkritisi pemerintah.

***

Lalu kenapa komunitas ini dinamai Azan dan apa artinya? Azan artinya panggilan, tepatnya panggilan untuk berbudaya. Tapi banyak juga orang yang memaknainya sebagai akronim dari Acep Zamzam Noor. Entahlah. []

(2004)
Next Next