Acep Zamzam Noor
SEJAK pagi beberapa rekan dari Ciamis,
Setelah era reformasi, tradisi arak-arakan memang kerap terjadi di mana-mana. Partai, ormas, LSM, mahasiswa, kelompok masyarakat dan lain-lain selalu melakukan arak-arakan. Tapi berbeda dengan arak-arakan di masa lalu, di mana unsur kreativitas dan semangat bermain-main begitu menonjol, kini arak-arakan, pawai, unjuk rasa atau apapun namanya selalu berbau politis. Semangatnya adalah unjuk kekuatan dan tak bisa lepas dari kesan provokatif. Ikat kepala, pentungan, poster, spanduk dan yel-yel yang menakutkan adalah ciri khas arak-arakan masa kini. Bahkan peringatan hari-hari besar keagamaan pun diperingati dengan semangat “unjuk kekuatan” seperti ini.
Sudah lama saya merindukan arak-arakan seperti di masa lalu, arak-arakan atau karnaval yang kreatif, dengan kostum yang aneh-aneh, penuh permaian dan atraksi yang menggembirakan. Bukan hanya menggembirakan bagi yang melihat tapi juga bagi yang melakoninya. Kebetulan beberapa teman seniman baru saja melaksanakan akad nikah (dan belum sempat dirayakan). Maka digelarlah “Karnaval Kawin Massal” sebagai syukuran atau “kaul” atas pernikahan mereka. Karnaval yang merupakan pentas kesenian keliling dengan beberapa pasang pengantin sebagai pemain intinya.
Karnaval yang berlangsung 16 Maret 2002 ini melibatkan sejumlah kelompok kesenian (teater, genjring, musik akustik, marching band, salawatan ibu-ibu dll). Selain itu, kelompok motor besar, bemo antik (yang mengangkut pengantin), puluhan becak ikut berkonvoi. Tadinya ada
Yang benar-benar tampil hanya dua pasang, yakni Eriyandi Budiman & Siti Nurjanah serta Nazaruddin Azhar & Bian Yulian. “Dua pasang juga sudah masuk katagori massal, karena bukan tunggal,” kata saya pada teman-teman. Sebenarnya ada beberapa pasang pengantin lagi yang ingin ikut “kaul” dalam karnaval ini, tapi karena sudah agak kedaluarsa dan beberapa sudah mulai hamil akhirnya tidak jadi ikut, hanya menonton.
Tepat pukul 14.OO WIB karnaval dimulai dari halaman rumah saya di Cipasung. 26 motor besar (Mercy Binter yang disulap menjadi Harley Davidsons) mengawali karnaval ini dengan kostum hitam-hitam, lalu disusul sebuah bemo antik yang sudah dihias sedemikian rupa mengangkut dua pasang pengantin yang berkostum aneh. Setelah itu marching band anak-anak yang berjumlah 100 orang beraksi dengan lincah, diikuti oleh sejumlah kelompok teater dengan kostum yang berbeda-beda, lalu kelompok musik akustik dan perkusi, puluhan penabuh genjring ronyok dengan para penembangnya, ibu-ibu pengajian dan anak-anak yang diangkut puluhan becak dengan hiasan kertas warna-warni. Konvoi ini kemudian diikuti para simpatisan, baik anak-anak maupun orang tua yang ikut berbaris di belakang.
Jarak yang tadinya diperkirakan hanya 4 KM ternyata memanjang menjadi 6 KM karena melewati rute yang tidak diperhitungkan sebelumnya. Sepanjang jalan masyarakat menyambut dengan gembira, tepuk tangan dan berjingkrak-jingkrak mengikuti irama musik, baik dari marching band maupun genjring ronyok. Di beberapa tempat yang ramai arak-arakan berhenti dan kelompok-kelompok teater melakukan atraksi. Semua nampak bergembira. Polisi dan pasukan Banser yang mengawal pun ikut berjoged. Beberapa orang mengeluarkan makanan dan minuman dari rumahnya, lalu dibagikan kepada peserta karnaval.
Setelah melewat Cihaur, Borolong, Kudang, Cikiray, Ciputri kemudian beristirahat di alun-alun Singaparna. Di sini kembali kelompok-kelompok teater melakukan atraksi, hingga mengundang dua pasang pengantin turun dari bemo untuk ikut berjoget.
Menjelang kembali ke Cipasung hujan turun, namun tak mengganggu arak-arakan.
***
Selepas magrib, suasana sedikit berubah menjadi khusyuk. Sebagian besar peserta karnaval masih bergerombol.
Acara ini merupakan perpaduan antara kegembiraan dan kekhusyukan. Karnaval adalah ajang untuk bermain-main dan bergembira. Lalu, pentas “Genjring Ronyok” dari Kawali dan “Calung Tarawangsa” dari Cibalong adalah ajang untuk mencapai kekhusyukan. Untuk kontemplasi. Yang diundang pun begitu beragam, termasuk para politisi dari sejumlah partai, para aktivis LSM dan waria yang suka mangkal di alun-alun Tasikmalaya. Sayang para waria tidak hadir, mungkin karena kurang “pede” masuk ke lingkungan pesantren. Orang partai pun banyak yang tidak hadir, nampaknya karena kurang “pede” masuk ke kalangan seniman.
Kelompok Genjring Ronyok “Al-Islah” mengawali pementasan seni buhun ini dengan sebuah lagu pembuka yang dinamis. Semacam lagu ucapan selamat datang. Kemudian secara berturut-turut penonton dihentak oleh beragam
Menurut Pak Daday, yang memimpin kelompok ini, seni genjring masuk wilayah Kawali karena dibawa oleh Pangeran Usman dari
Lagu-lagu yang dilantunkan kelompok Al-Islah ini kebanyakan masih dikenal hingga hari ini. Sebagian masih sering dilantunkan orang di surau-surau di kampung atau di pengajian-pengajian ibu-ibu, karena banyak mengambil dari syair-syair Al-Barzanji. Namun yang unik adalah tetabuhan musiknya. Ini sangat khas kawalian. Tepaknya mengingatkan kita pada kendang pencak silat. Menurut Pak Mamad, paling tidak ada 6 macam tepak (pukulan) yang biasa ditampilkan dalam satu pementasan: Tepak Kincar, Tepak Gejos, Tepak Rumyang, Tepak Rudat, Tepak Kempling dan Genjring Tilu.
Macam-macam tepak ini berlainan satu sama lain, disesuaikan dengan makna syair lagu yang diiringinya. Sayang kelompok Al-Islah yang sejak dekade 80-an menjadi salah satu dari sedikit kelompok yang masih bertahan tidak tampil dengan formasi penuh di Cipasung. Al-Islah hanya menampilkan 20-an pemain (biasanya 40-an) karena panggungnya tidak memungkinkan. Delapan orang penembang perempuan dan sisanya penabuh laki-laki yang sebagian berusia lanjut. Meski kebanyakan penonton merasa akrab dengan lagu-lagunya, namun cukup terhenyak juga mendengar tetabuhannya yang aneh tapi asyik.
Setelah Genjring Ronyok, kelompok Calung Tarawangsa “Dangiang Budaya” dari Cibalong, Tasikmalaya selatan, naik pentas. Pak Aseng sebagai pimpinan tampil memberikan semacam pengantar apresiasi. Pengantar ini menjadi penting mengingat Calung Tarawangsa sebagai kesenian buhun sudah tak banyak dikenal orang lagi. Calung Tarawangsa ini sedikit berbeda dengan Tarawangsa dari daerah lain di Tatar Sunda.
Di masa lalu, menurut Pak Aseng, tak semua orang bisa menjadi pemain atau penembang Calung Tarawangsa.
Tapi sesuai dengan perkembangan zaman, Calung Tarawangsa yang dulunya ada hampir di setiap kampung di kawasan Cibalong, sekarang tinggal satu dua yang masih bertahan. Selain sering ditanggap pada acara pernikahan, khitanan, syukuran, peringatan hari-hari besar, kadang-kadang tampil juga di hadapan perempuan yang tengah hamil 4 atau 7 bulan. Calung Tarawangsa tidak selalu tampil di panggung, tapi bisa juga di halaman rumah, di dalam rumah atau di sawah. Instrumen yang digunakan dalam Calung Tarawangsa ini adalah 2 calung renteng, 1 tarawangsa (rebab), 1 kecapi buhun, 1 suling serta 2 penembang (sinden). Total pemainnya adalah 7 orang. Ketika sinden melantunkan lagu pembuka, para penonton bertepuk tangan riuh. Sinden yang usianya sudah terbilang tua ini mempunyai vokal yang aneh, ditambah syair yang dilantunkannya juga sulit untuk dimengerti karena memakai bahasa Sunda buhun. Syair-syair dalam seni tarawangsa ini memang masih bisa dikatagorikan pada pupuh, namun karena bahasanya yang klasik ditambah lagi oleh vokalnya yang unik, rasanya seperti mendengar musik tradisional dari
Meski kesenian tarawangsa ini bisa tampil semalam suntuk, namun pada pementasannya kali ini mereka hanya membawakan sekitar 10 tembang. Penonton, selain masyarakat sekitar dan santri, juga datang dari Tasikmalaya, Ciamis, Garut,
(2002)