SENI RUPA PINGGIRAN
Acep Zamzam Noor
SAYA dan teman-teman dari Komunitas Azan sudah cukup lama menggagas pameran seni rupa, yang di dalamnya ada workshop dan diskusi. Cukup lama juga mengadakan pengamatan terhadap para seniman yang berada di wilayah Priangan Timur. Dari pengamatan itu muncul gagasan untuk memilih seni rupa kontemporer, mengingat jenis seni rupa yang relatif baru ini belum banyak digelar. Dipilihlah 7 seniman (Kidung Purnama dari Ciamis, Lucky Lukita, Nazarudin Azhar, Yadi Mafie, Barli Pahat dari Tasikmalaya, Yeka Gama dan Gugum Gunawan dari Garut). Karya-karya mereka dinilai telah menunjukan kecenderungan yang tidak konvensional. Agar lebih bermanfaat bagi para seniman yang berada di pinggiran ini, maka diundanglah Wawan S. Husin, pelukis dan performer yang sudah tidak asing lagi dari Bandung . Wawan selain terlibat dalam pameran juga diharapkan bisa menghidupkan workshop dengan gagasan-gagasan jeprut-nya. Seluruh kegiatan yang bertajuk “Workshop dan Pameran Seni Rupa Pinggiran” ini dilangsungkan di sekitar rumah saya, di komplek Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya.
Eriyandi Budiman selaku “kurator” menghubungi para seniman dengan memberikan pilihan-pilihan karya: mulai drawing, lukis, patung, kriya sampai instalasi. Karya-karya yang intinya bisa merespons ruang dan lingkungan. Lucky Lukita, Gugum Gunawan dan Kidung Purnama memilih instalasi. Yadi Mafie dan Yeka Gama memilih lukisan. Barli Pahat memilih ukir dan patung, Nazarudin Azhar memilih komik. Sementara Wawan S. Husin selain menampilkan performent art juga akan menggelar instalasi. Kurator pameran memberikan kebebasan kepada peserta untuk menyiapkan karya jadi atau setengah jadi, namun baik karya jadi atau setengah jadi akan digodok lagi dalam workshop yang berangsung 23-24 Januari, dua hari sebelum pembukaan (25 Januari). Pamerannya sendiri berlangsung sampai 1 Februari 2003.
Beberapa seniman bahkan sudah datang sejak 21 Januari dan mulai bekerja. 23 Januari seluruh seniman hadir dan mulai berproses dalam sebuah workshop yang santai tapi serius. Setiap seniman selain sibuk menyelesaikan karyanya masing-masing juga aktif berkomunikasi satu sama lain. Wawan S. Husin menjadi provokator dengan memancing para seniman untuk membebaskan diri dari batasan-batasan kesenian. Sementara Eriyandi Budiman terus membahas tentang kemungkinan pengembangan karya, baik dari segi gagasan maupun teknis pemasangan.
Lucky Lukita yang karyanya cukup “monumental” tak banyak mengadakan perubahan dari gagasan awal. Ia membikin gunungan setinggi 5 meter yang ditancapkan di tengah-tengah kolam. Gunungan dari triplek dengan konstruksi bambu ini diberi warna hitam-putih (mirip ying-yang). Pada gunungan bagian hitam tergantung jalinan tambang plastik kusut dengan warna-warna partai: merah, kuning, hijau dan biru. Sedang pada bagian putih ditempeli potongan bambu berisi hurup-hurup tak beraturan. Lalu belasan boneka tikus sebesar betis dijerat dengan dasi merah-putih dan digantung di bagian bawah gunungan. Ia juga memasang sirkulasi air warna merah yang digerakan listrik. Karpet plastik hitam putih model lapangan catur menjadi penampung air merah itu, yang sebagian bocor hingga menimbulkan warna kemerahan yang menyebar ke permukaan kolam.
Selain gunungan, Lucky juga memasang sebuah perangkap tikus cukup besar (3 X 3 meter) dari anyaman bambu di samping kolam. Di dalam perangkap itu ditaruh uang-uangan dan mobil-mobilan. Karya ini dinamai “Moro Beurit”. Lewat karya ini ia bercerita tentang tikus (koruptor) yang harus diburu. Tak hanya itu, pada saat acara pembukaan ia pun menampilkan performent art berburu tikus dengan bantuan rekan-rekannya dari Teater Bolon. Ia juga menyiapkan puluhan cermin kecil dan tusuk gigi yang akan dibagikan pada pengunjung.