Share |

Artikel 14

IMAGERY GAMES



Acep Zamzam Noor


DALAM senirupa modern ada dua pengertian tentang lukisan abstrak, pertama adalah lukisan yang biasa disebut non-representational, non-objective atau pure-abstraction. Dalam pengertian ini, istilah abstrak merupakan lawan dari sesuatu yang berwujud, sesuatu yang nyata atau kongkrit, yakni sesuatu yang niskala. Sedang pengertian kedua menunjuk pada lukisan yang menjauhi bentuk obyeknya, meskipun sebenarnya masih tetap menampakkan atau merepresentasikan obyek tertentu. Pelukis-pelukis abstrak non-representasional di tanah air antara lain adalah Ahmad Sadali, A.D. Pirous, Umi Dachlan, Rustam Arief, Heyi Ma’mun, dan masih banyak lagi, yang di masa lalu dikenal sebagai “mazhab Bandung”. Sedang tokoh-tokoh dalam pengertian seni abstrak yang kedua adalah Popo Iskandar, Zaini, Rusli, Oesman Effendi, Nashar (pada periode awal), Srihadi Sudarsono, Farida Srihadi dan masih banyak lagi. Karya-karya mereka berangkat dari obyek yang nyata, meski dalam pengungkapannya banyak melakukan penyederhanaan, pengaburan, penambahan atau yang biasa disebut sebagai abstraks.


Tetet Cahyati adalah pelukis yang bekerja di antara dua pengertian seni abstrak ini. Dalam pameran tunggalnya di Griya Seni Popo Iskandar, Bandung, 8 sampai 18 Juli 2001, kita bisa menyaksikan bagaimana pelukis wanita ini melakukan tarik menarik antara menghadirkan dan mengaburkan obyek. Tidak seperti Nunung W.S. yang pure-abstraction, di mana bidang-bidang warna muncul dari aksinya memainkan kwas-kwas besar secara spontan tanpa dirangsang terlebih dahulu oleh obyek atau pikiran tentang obyek. Juga tidak seperti Heyi Ma’mun yang sangat sensitif dalam menempatkan warna dan barik dalam sebuah komposisi yang tidak merepresentasikan obyek apapun selain warna dan barik itu sendiri. Tetet justru berangkat dari obyek yang nyata, baik yang langsung dihadapinya atau yang terlintas dalam pikirannya. Ada bunga, ada jambangan, ada pantai, ada horison, ada perahu, ada matahari senja, ada kanal, ada jalan tapi ada juga sebuah gambaran tentang kesunyian, tentang kehidupan, bahkan tentang dunia pendidikan.


Proses menghadirkan obyek nampaknya sangat penting bagi pelukis yang juga penyair, cerpenis dan novelis ini. Obyek menjadi semacam titik tolak yang memicunya dalam kerja melukis. Beberapa lukisan seperti “Sunset Di Aberdeen”, “Pantai Senja” atau “Di Ujung Jalan Sunyi”, “Di Tepi Sungai Seine”, “Cakrawala Biru” masih kita kenali obyek asalnya, meski yang nampak hanyalah bidang-bidang warna yang kontras satu sama lain. Sebuah horison, matahari senja serta perahu (“Sunset di Aberdeen”), jalan yang berujung di sebuah pantai (“Di Ujung Jalan Sunyi”), atau sebuah horison (“Pantai Senja”). Dalam sejumlah lukisan yang lain kita menemukan “kesan” tentang obyek justru setelah kita baca judul-judulnya seperti “Green Canyon” atau “Di Tepi Kanal Biru”. Jika pada lukisan-lukisan yang disebut terakhir si pelukis nampak seperti menjauhi obyek. Obyek bukan hanya kabur, tapi sulit dikenali. Obyek telah berubah menjelma kenyataan baru. Kenyataan yang diciptakan pelukis.


Sebagai pelukis yang juga akrab dengan sastra, dan tentunya juga puisi, cara kerja Tetet Cahyati ini memang tipikal seorang penyair. Suasana yang dibangun lewat anasir-anasir rupa (garis, bidang, warna dan sebagainya) terasa lebih menonjol ketimbang obyek itu sendiri. Seperti halnya puisi yang imajis, suasana dalam lukisan-lukisan Tetet menjadi sangat penting. Obyek yang dibangun anasir-anasir rupa lebur menjadi suasana. Bukan hanya suasana, tapi juga irama yang sangat musikal. Hal ini terjadi karena dalam beberapa lukisan seperti “Pantai Senja” atau “Nuansa Kehidupan”, Tetet mengadakan pengulangan bidang-bidang warna, juga tarik menarik antara harmoni dan kontras, atau antara gelap dan terang.


Dalam pameran tunggalnya kali ini Tetet banyak menggunakan warna-warna primer yang riang (merah, kuning, hijau, biru muda), yang dipadu dengan warna-warna gelap yang mencekam (biru tua, coklat, ungu, hitam). Nampak kelugasan Tetet dalam mengerjakan lukisan-lukisannya. Kanvas dipenuhi bidang-bidang warna yang lebar secara horisontal, vertikal dan diagonal. Kadang paduan warna dari bidang-bidang tersebut terasa keras, meski diredam dengan penempatan warna kelam yang dominan. Lukisan seperti “Green Canyon”, “Long Life Education” dan “Di Tepi Kanal Biru” mengingatkan kita pada lukisan-lukisan Nashar periode abstrak. Hanya pada karya Tetet bidang-bidang warna kurang diolah secara mendalam sehingga warna-warna yang muncul terasa datar. Misalnya biru adalah biru, bukan biru yang dihasikan dari tumpukan warna-warna lain seperti yang dilakukan Nashar. Dalam lukisan di mana bidang-bidang warna tampil sangat dominan, pendalaman atau pematangan terhadap warna-warna yang digunakan menjadi sangat penting. Bidang warna tidak berkesan sebagai plat yang datar seperti tembok, tapi menyimpan ruang-ruang yang tercipta dari proses pendalaman (penumpukan) warna-warna tadi.


Tetet Cahyati lahir 24 Desember 1963 di Bandung. Mengaku belajar melukis sejak masih kanak-kanak dengan bimbingan langsung dari ayahnya, pelukis Popo Iskandar. Lukisan-lukisan Tetet yang dipamerkan ini nampaknya merupakan perkembangan mutakhir dari kecenderungannya dalam melukis. Sejak beberapa tahun terakhir ia cukup aktif mengikuti berbagai pameran bersama, dan sempat berpameran tunggal. Secara umum dari karya-karya awalnya kita masih bisa melihat kecenderungan yang sangat terkait dengan naluri kewanitaannya seperti memilih obyek-obyek bunga, jambangan atau panorama. Dalam lukisan-lukisannya periode ini obyek masih tampil sebagai obyek yang dihadirkan, dengan pengaburan dan penambahan tentunya. Sedang pada karya-karya mutakhirnya nampak ada muatan gagasan yang tidak berhenti pada pemilihan dan penggambaran obyek saja, tapi pada sesuatu yang jangkauannya lebih luas. Meski tetap membutuhkan obyek tertentu untuk setiap permukaan kanvasnya, baik alam maupun benda-benda, hal paling utama yang ingin diungkapkan pelukis adalah reaksinya terhadap kenyataan-kenyataan hidup yang tengah dihadapinya. Sebuah upaya artistik bagaimana menjalani, menghayati dan mensyukuri kehidupan – dalam hubungannya dengan keindahan, harmoni serta quality of life. “Dalam seni rupa dan seni sastra, nilai-nilai seperti itulah yang ingin saya kembangkan” katanya suatu ketika.


Upaya Tetet Cahyati dalam mengembangkan nilai-nilai luhur tadi nampaknya kini tengah diwujudkan dalam sebuah kemasan yang bertajuk Imagery Games, yang merupakan perhelatan bagi 50 buah lukisannya. Sebuah permainan imajinasi, permainan suasana dan permainan anasir-anasir rupa dalam upayanya menggapai makna.


(2001)

Prev Next Next