Share |

Artikel 10

NENG PEKING MENGGIRING GODI


Acep Zamzam Noor


SETELAH sempat tertunda beberapa kali, akhirnya pentas tari-puisi yang menampilkan penyair Godi Suwarna dan Neng Peking di halaman rumah saya di Cipasung, terwujud juga, 19 September 2003. Semula direncanakan bulan Juni, namun ketika sedang berlatih silat Godi Suwarna terpeleset hingga kakinya bengkak. Bulan Agustus berikutnya giliran Neng Peking yang sakit karena kelelahan melatih murid-muridnya di berbagai sekolah di Ciamis. Rencana pentas pun kemudian diundur hingga September. Materi yang akan ditampilkan pun jadi berubah. Awalnya Neng Peking akan “menarikan” puisi Godi Suwarna, namun dalam perkembangan latihan ia lebih tertarik menggali salah satu episode dari Anak Bajang Menggiring Angin karya Sindhunata. Maka lahirlah “Ratri”, karya terbaru dari penari dan koreografer lulusan ASTI Bandung dan STSI Solo ini. Namun kolaborasi tetap berjalan, di samping tampil membaca puisi, Godi Suwarna terlibat jauh dalam proses.


Godi Suwarna sepertinya ingin total. Bukan hanya pementasan yang dipersiapkan serius dengan melakoni berbagai ritual di sumur Cipanganten dan Situ Lengkong, namun ia juga terlibat langsung mempersiapkan setting pangung. Ia membawa satu colt jerami kering dari Buniseuri dan puluhan lentera khas dari Rajadesa. Juga mangkuk-mangkuk keramik, gentong, lilin, sumbu, dupa, hio dan minyak kelapa. Ia pun memboyong awak panggung militan seperti Yan Anwar, Jaro X. Yus, Elan, Cunong dan Daris dari Kawali. Juga mengajak Kidung Purnama untuk mengamankan cuaca. Halaman rumah dan garasi yang tak seberapa luas disulapnya menjadi panggung yang impresif. Bentuk gunungan atau piramid menjadi titik sentral dari panggung yang menyudut ini. Lentera-lentera bergelantungan dan lampu-lampu di mangkuk bertebaran sekitar panggung.


Pentas diawali dengan beberapa nomer jaipongan “kreasi baru” yang dibawakan oleh Ima Mulyani dan Enur Nuryani. Neng Peking menafsirkan tarian jaipongan ini sebagai sesuatu yang dinamis, penuh gairah namun tidak sensual. Ia memilih kostum yang meriah dan fungky serta musik Bali yang rancak untuk mengiringi dua penari yang selalu tersenyum ini. Jaipongan pun menjadi terasa aneh, segar dan menggigit. Apalagi para penarinya masih muda dan rupawan.


Meski cukup menarik, jaipongan hanya sebagai sajian pembuka dalam mengkondisikan penonton menuju kekhusyukan. Setelah itu suasana menjadi serius dan khusyuk, bau hio tercium dari setiap sudut. Lampu-lampu sorot meredup. Dengan kostum seorang dukun, Godi Suwarna tampil anggun. Kecil namun gagah. Adipati Galuh yang berambut panjang dan beruban ini tanpa banyak basa-basi membacakan puisi-puisinya dengan pengucapan yang jelas dan aksen yang tegas. “Sajak Kawalian I”, “Sajak Kawalian II”, “Sajak Batukarasan”, “Sajak Pananjungan” dan ditutup dengan “King Cross”, yang menjadi andalannya di setiap pentas. Godi Suwarna memilih puisi-puisi yang temanya kebanyakan mengenai Ciamis. Ia ingin membangun suasana yang serius, mistis dan khusyuk. Puisi-puisi tersebut merupakan renungan yang mendalam tentang alam dan sejarah, khususnya tatar Galuh, dalam hubungannya dengan situasi dan kondisi manusia Sunda dalam konteks keindonesiaan kini.


Godi Suwarna bukan hanya penyair namun juga aktor dan sutradara teater. Maka tak heran jika ia membawakan puisi-puisinya dengan sangat memikat. Dengan bahasa Sunda yang elastis, memilin dan kaya bunyi, Godi Suwarna berhasil menampilkan sesuatu yang melewati bahasa, melewati batas pengertian. Buktinya para penonton yang jauh datang dari Jakarta pun bisa menikmati puisi-puisinya, padahal tidak memahami bahasanya.


Apa yang ditampilkan oleh Godi tetaplah puisi, tetaplah poetry reading. Bukan dramatisasi atau perengkel jahe. Suara atau vokal tetaplah modal utama dalam penampilannya. Ia tidak jumpalitan, tidak menendang atau meninju. Ia memang bukan atlet atau penyanyi rock. Adapun kibasan rambut yang sesekali, senyum manis dan kedipan mata nakal di akhir puisi adalah caranya membangun komunikasi dengan penonton, khususnya dengan para santriwati.


Sebagai penyair Godi Suwarna adalah pemuja alam yang kental dan juga pengagung perempuan yang handal. Ia mendeskripsikan alam dan perempuan dengan detail dan merdu. Ia mengakrabkan masa lalu dan masa kini. Ia memanggil Ratu Diah Pitaloka atau Puteri Citraresmi seperti halnya menyapa Lena Guslina, Diah Padmini, Chye Retty, Neng Sri atau Ratna Ayu Budhiarti. Di tengah penonton yang kebanyakan santriwati enerji kepenyairannya benar-benar banjir. “Saya baru melihat Kang Godi tampil total dan dahsyat seperti ini,” bisik Enung Sudrajat, wakil ketua KPU Tasikmalaya yang datang bersama para politisi. Hal serupa juga diungkapkan oleh penyair Sarabunis Mubarok dan Saeful Badar. Kekhusyukan yang dibangun Godi Suwarna tentu bukanlah klimak, tapi tangga menuju puncak. Menuju wanci.


Ratri” adalah waktu ketika malam menjadi begitu hening dan sakral. Malam ketika Begawan Wisrawa memaparkan Sastra Jendra Hayuningrat kepada Dewi Sukesi. Malam ketika diri berhadapan dengan sejatinya diri. Malam ketika jiwa dan raga terbuka untuk melihat dan mendengar rahasia semesta yang paling dalam. Berbagai perasaan berbaur dan bergejolak ketika satu persatu penampakan, yang bukan pemandangan keseharian muncul di hadapannnya yang tengah bimbang.


Itulah inti persoalan yang diangkat dan ditafsirkan Neng Peking dalam karya terbarunya ini. Dalam tarian tersebut Dewi Sukesi memang gagal memiliki Sastra Jendra, gagal memahami rahasia semesta karena napsu duniawi masih menguasainya. Ambisi besar Dewi Sukesi berakhir dengan tragis, ia membunuh dirinya, membunuh perasaan yang ada dalam dirinya. Neng Peking benar-benar tampil serius dan menggetarkan. Dengan mengenakan kostum hitam-putih, paduan kebaya Sunda dan kain Bali, ia mengelilingi arena membawa sebuah lentera. Menghampiri mangkuk-mangkuk keramik di sekitar panggung, kemudian menggantungkan lenteranya di sudut. Bau hio semakin merebak. Suara rebab dan gambang terdengar sayup-sayup.


Neng Peking memulai tariannya dengan gerakan-gerakan pelan, gerakan-gerakan pencarian. Gerakan-gerakannya mulai lepas dan liar ketika ia menggambarkan ambisi Dewi Sukesi yang tak terkendali. Ia menendang, menengok dan mendongak. Lalu kembali merunduk. Ia pun menggeremangkan tubuhnya secara ritmis, seperti sedang trance dalam zikir. Di akhir pementasan penari nampak bergulingan, dan dengan tragis menancapkan keris berulang-ulang ke tubuhnya. Ia membunuh dirinya, namun tak mati-mati.


Seperti halnya sebuah puisi, apa yang ditampilkan Neng Peking adalah metafor, simbol, imaji dan juga suasana. Gerak dan ekspresi wajah adalah kata-katanya. Seperti halnya puisi, tarian indah ini juga mengundang penafsiran ganda. Ia sastra dan berangkat dari karya sastra. Musik yang dimainkan Mang Yoyo dan Mang Eye membangun irama yang terus menanjak, seperti halnya dalam sebuah klimak. Setting panggung yang terkesan buhun, dengan trap-trap yang menyudut dan membentuk gunungan, mengisyaratkan sebuah renungan yang dalam. Neng Peking hanya menggunakan arena dua kali satu setengah meter pada trap teratas untuk tariannya. Ia seperti menari di tempat, bergerak di tempat. Dengan demikian tarian memusat pada dirinya dan bukan pada ruang di mana ia menari. Gerakannya pun tidak baku, tidak terpaku pada pola tertentu, namun tetap setia pada alur cerita. Maka improvisasi muncul dari komunikasinya dengan penonton. Menurutnya, apa yang kali ini ditampilkan di Cipasung pasti akan berbeda dengan di Bandung, misalnya.


Neng Peking bukanlah penari kemarin sore. Murid kesayangan almarhum Rudjito dan Suprapto ini telah melanglang buana hingga ke Jepang. Belakangan ia banyak menggali karya sastra untuk tarian-tariannya. “Komposisi Regang” adalah karya yang diangkatnya dari novel Mushasi. Begitu juga “Kalang”, yang diilhami Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Kedua karya tari ini pernah dipentaskan di banyak tempat dan mendapat sambutan hangat.


Tepat dua tahun yang lalu Neng Peking dan Godi Suwarna juga tampil di halaman rumah saya dengan karyanya “Samping Kebat”, yang mendapat sambutan hangat para hadirin. Waktu itu Neng Peking membawakan puisi karya Godi Suwarna, sementara sang penyair tampil sebagai pangeran di puncak acara. Kali ini lain, Neng Peking tak lagi didorong-dorong suami ke dalam puisinya, malah justru menggiring sang suami masuk ke dalam tariannya. Puisi-puisi yang dibacakan Godi Suwarna secara habis-habisan menjadi tangga yang mengantarkan suasana, yang membuka ruang untuk tarian Neng Peking. Godi juga tergiring lebih ke dalam lewat setting panggungnya yang impresif, naif dan terkesan buhun. Hasil dari renungan serta apresiasinya selama bertahun-tahun terhadap Neng Peking, baik sebagai istri setia maupun penari yang kreatif. “Ternyata istri saya cerdas juga dan karyanya kali ini cukup mengagetkan saya,” begitu pengakuan jujur Godi Suwarna dalam diskusi sehabis pementasan. Sebuah kolaborasi yang adil dan beradab.

(2003)

Prev Next Next