Share |

Artikel 18

PERIHAL BAMBU

Acep Zamzam Noor


ADA sejumlah pelukis yang begitu fanatik pada tema atau obyek tertentu. Mereka bukan saja menggauli tema atau obyek tertentu itu, tapi juga menyuruk masuk ke dalamnya dengan penuh kecintaan, menggali dan terus menggali seakan tak pernah tuntas. Sebut saja Popo Iskandar yang begitu lekat dengan kucing-kucingnya, Ahmad Sadali yang tak bisa dilepaskan dari retakan-retakan teksturalnya, Jeihan dengan sosok-sosok orang kampungnya, atau bahkan Affandi yang tak pernah bosan melukis wajahnya sendiri selama puluhan tahun. Sekilas, pelukis-pelukis semacam ini nampaknya seperti mudah untuk dirumuskan karena pergerakannya tak melebar atau menyamping, tapi lurus-lurus saja. Karya-karya mereka yang berkembang-biak dengan hanya ditandai oleh perkembangan (atau perubahan) kecil dalam ungkapannya, bahkan mengesankan pengulangan, sebenarnya bisa dipahami sebagai kekhusyukan mencari jatidiri yang tak habis-habisnya pada tema atau obyek yang dipilihnya itu. Pada sejumlah pelukis upaya semacam ini membuahkan identitas karena didasari oleh obsesi dan keseriusan mencari, jadi bukan sekedar eksploitasi yang murahan saja.

Anang Sumarna, dalam kadar yang berbeda barangkali bisa digolongkan pada model pelukis yang fanatik ini. Ia dikenal sangat akrab dengan seluk-beluk bambu. Bambu yang dicintainya, yang kemudian diperjuangkan rekayasanya untuk berbagai keperluan sebagai perabot sehari-hari yang fungsional dan kerajinan yang bernilai, konon bambu telah mengilhaminya pula untuk diekspresikan sebagai karya seni murni. Bambu pun lantas menjadi tema tunggal bagi lukisan-lukisannya yang sangat subur belakangan ini. Rupanya karakter bambu yang khas, baik pohon maupun daunnya, sangat menarik perhatian pelukis yang mantan Kepala Diparda Jawa Barat ini untuk digali berbagai kemungkinannya dalam bahasa rupa dan ditawarkan pada publik seni lukis yang tengah diguncang boom ini.

Anang Sumarna yang namanya baru dikenal sebagai pelukis belakangan ini sebenarnya bukan orang baru dalam seni rupa. Ia mempunyai pendidikan formal seni rupa dari FRSD ITB (lulus 1963), meskipun kemudian tampil sebagai tokoh parawisata karena jabatan yang disandangnya. Sejak 1965 ia sudah aktif berpameran di dalam maupun di luar negeri, terutama pada pameran-pameran yang ada kaitannya dengan parawisata dan kerajinan. Sedang untuk lukisan, baru pada tahun 1987 ia aktif kembali bersama kelompok Altelier Papillo mengadakan pameran di Bandung dan Jakarta. Lalu tahun 1990 ini menggelar pameran tunggalnya di Galeri Bandung bulan Juni lalu, yang kemudian disambung di Mitra Budaya Jakarta, pada bulan berikutnya.

Sebagai alumnus FRSD ITB tahun 1960-an karya-karya Anang Sumarna memang tak bisa dilepaskan dari kecenderungan yang berkembang di perguruan tinggi almamaternya waktu itu, yang kemudian dikenal sebagai mazhab Bandung. Adalah Ries Mulder yang mengajarkan cara melukis (yang banyak disebut orang secara kurang tepat sebagai kubisme) dengan analitik, yang secara sadar menyusun struktur rupa berupa garis, bidang, warna, volume, irama serta hubungannya satu sama lain secara keseluruhan. Cara melukis yang di antaranya mengacu pada gaya Jaques Villon ini pernah juga dilalui oleh murid-muridnya seperti Ahmad Sadali, But Muchtar, Srihadi, Popo dan terus menular pada angkatan-angkatan berikutnya, meskipun mereka pada akhirnya meninggalkan gaya itu setelah menemukan kekhasannya masing-masing.

Karya-karya Anang Sumarna masih kuat sekali menampilkan semangat analitik ini. Obyek bambu yang menjadi titik tolak pelukis disusun menjadi motif datar lewat potongan garis-garis yang saling menyilang dan kemudian bidang-bidangnya diisi dengan warna-warna yang bergradasi. Garis-garis itu bisa lurus panjang, bisa juga patah-patah secara vertikal, horizontal maupun diagonal.

Jika melukis adalah membuat citra obyek, maka yang dilakukan Anang Sumarna mengarah ke sana. Dalam setiap karyanya nampak Anang selalu berusaha menampilkan citra bambu, meskipun telah terjadi abstraksi dalam perwujudannya. Garis-garis vertikal adalah pencitraan batang-batang bambu yang kemudian disilang oleh garis-garis pendek atau patah-patah yang mencitrakan ranting atau daun bambu yang merumpun. Terkadang Anang hanya memainkan garis-garis pendek atau patah-patah itu dalam seluruh permukaan kanvas.

Pada titik ini terlihat sekali keformalan Anang Sumarna baik dalam teknik maupun dalam menafsirkan obyek. Keformalannya ini terlihat ketika ia menggambarkan batang, ranting atau daun bambu dengan cara yang sama untuk setiap lukisannya. Kesan menonton tak akan terhindarkan jika karya-karya ini digelar dalam satu pameran tunggal. Maka mengamati karya-karyanya satu persatu tak heran jika kita akan menangkap irama yang sama atau merasakan suasana yang serupa. Bambu sebagai obyek menjadi terbatas pada batang, ranting dan daunnya saja tanpa pemaknaan citra atau simbolisasi yang lebih jauh lagi. Emosinya seolah teredam oleh kesadarannya yang rasional hingga yang nampak pada permukaan kanvas atau kertas adalah ketertiban dari sebuah disiplin kerja serta kemolekan komposisi sebagai hasilnya.

Agak sulit untuk menandai karyanya dalam pembicaraan ini karena pelukis tak menyertakan judul khusus selain semua karya-karyanya dinamai bambu. Yang bisa dilakukan barangkali dengan menunjuk pada warna-warna dominan yang digunakannya. Hampir setiap lukisan Anang selalu didominasi oleh warna tertentu seperti merah yang menuju pada ungu, atau kuning pada coklat, atau biru pada hitam. Dalam hal pewarnaan ia cukup terampil menciptakan warna-warna monokromatik yang diolahnya sendiri hingga melahirkan warna-warna khas yang memang diperlukannya. Pada lukisan yang didominasi warna merah umpamanya, ia menyusun nada warna yang begitu cermat mengisi bidang-bidang kecil yang tercipta dari silangan garis-garis pendek. Warna merah itu bergerak perlahan menuju ungu, dan pada bagian-bagian tertentu mencapai kualitas yang kebiruan. Begitu juga dalam lukisannya yang lain, yang didominasi warna hijau. Lukisan ini agak dinamis karena garis-garis vertikal-horisontal-diagonal menjadi terasa keras dengan peranan tekstur yang mengisi bidang-bidangnya. Hijau yang kecoklatan bergerak pada kuning oker, menuju ungu dan biru. Secara keseluruhan warna-warna Anang Sumarna cukup matang dalam pengolahan, cukup tepat dalam penempatan hingga semuanya menjadi serba seimbang, aman dan tertib.

Kesan seperti di atas terjadi ketika saya melihat Anang Sumarna sebagai pelukis, bukan desainer yang banyak mengerjakan kerajinan-kerajinan dari bambu. Sebab ketika kita melihat ia dalam kapasitasnya sebagai desainer, maka akan maklum pada karya-karyanya yang cenderung tertib dan terpola. Desainer selalu berangkat dari rancangan, dari pola. Peranan pekerjaan yang ditekuninya sekian lama ini sangat besar pengaruhnya dalam melukis. Tentu saja hal ini adalah sah adanya, melukis dengan pola yang analitik adalah salah satu dari seribu cara lainnya. Sebab yang kemudian menentukan semuanya adalah kreativitas si pelukis itu sendiri.

Selain lukisan-lukisan di atas kanvas dengan cat minyak, Anang Sumarna pun banyak mengerjakan lukisan-lukisannya di atas kertas dengan media cat air, akrilik atau gouache. Dibanding lukisan-lukisan kanvasnya, karya-karya Anang pada kertas cenderung lebih lembut dan halus, untuk tidak dikatakan kuat pengaruh kedesainerannya. Mungkin juga kesan ini ditimbulkan oleh cara pengemasannya yang sangat manis. Sedang dalam perwujudan visualnya masih tetap sama, mengandalkan silangan garis-garis vertikal dan horisontal dengan warna-warna yang akrab satu sama lain.

Secara keseluruhan karya-karya Anang Sumarna bagi saya semacam resital yang mengalun dengan nada serupa yang terus berulang-ulang. Tentu cukup menentramkan bagi yang mendengar. Tapi apakah karya seni hanya cukup untuk sebuah ketentraman?

(1990)

Prev Next Next