Share |

Artikel 22

SPION DAN BEBEK

Acep Zamzam Noor


SARANA bagi seorang seniman hanyalah unsur penunjang, bukan segala-galanya. Tanpa sarana yang memadai seorang seniman kreatif masih bisa berbuat banyak. Dengan kata lain kreativitas tak bisa dibendung oleh keterbatasan. Seperti air sungai, kreativitas akan terus mengalir dan bahkan menerjang atau meruntuhkan apa saja yang ada di depannya. Kreativitas, seperti halnya sifat air selalu membutuhkan saluran untuk bisa terus bergerak. Jika didiamkan, maka kreativitas akan menggenang, mampat dan berbau busuk seperti kolam yang tidak terurus.

Itulah kesan yang muncul ketika menyaksikan pameran seni rupa Iwan Koeswanna. Di tengah miskinnya sarana yang dimiliki Tasikmalaya untuk kegiatan-kegiatan kesenian, yang sangat tidak sebanding dengan sarana untuk olahraga yang sebenarnya tidak begitu menghasilkan prestasi, Iwan tak pernah kehabisan akal untuk terus mengolah kreativitas dan kemudian mengahadirkannya ke tengah-tengah masyarakat. Sejak tanggal 1 sampai 31 Agustus 1996, selama sebulan penuh Iwan menggelar sebuah pameran seni rupa yang bertajuk Spion dan Bebek di rumahnya sendiri, di sebuah gang sekitar Jl. Cipedes. Kegiatan yang tidak umum ini, selain murni sebagai ekspresi kesenian juga bisa mempunyai makna yang lebih jauh: sebagai sindiran tidak adanya sarana yang memadai untuk kegiatan seni rupa di Tasikmalaya.

Pada tahun-tahun kebelakang ini, para seniman Tasikmalaya sangat giat menggalakkan apresiasi kesenian dengan mengadakan berbagai pameran lukisan maupun pementasan (sastra dan teater) di sembarang tempat. Mulai dari trotoar, bangunan kosong, lobi hotel, super market, ruang sekolah, sampai bekas kantor polisi. Sebenarnya kota resik ini mempunyai Gelanggang Generasi Muda (GGM), yang di kota-kota lain dimanfaatkan juga untuk kegiatan dan pembinaan kesenian. Tapi tampaknya GGM Tasikmalaya yang didesain sebagai gedung olahraga lebih difungsikan menjadi markas ormas-ormas kepemudaan serta tempat latihan macam-macam beladiri, dibanding untuk kegiatan kesenian misalnya. Selain karena desain gedungnya yang memang tidak cocok baik untuk pameran maupun pementasan, juga karena proses birokrasinya.

Dalam pameran seni rupanya kali ini Iwan Koeswanna tidak hanya menampilkan lukisan. Semua benda-benda yang terdapat di rumah atau lingkungan terdekatnya seperti parut, sinduk, kompor gas, tumpukan piring, jam, roda sepeda, kursi dan bahkan dinding, dapur dan pagar rumah menjadi bagian dari karyanya. Iwan mencoba memberi makna dan menempatkan benda-benda sehari-hari itu pada kedudukan yang sama dengan lukisan-lukisannya. Dalam katalog ia menulis pengantar: “Benda-benda seperti parut, sinduk, roda sepeda adalah hasil dari pencarian estetika lokal yang terdapat di lingkungan sendiri”.

Konsep seniman yang sering mencukur habis rambutnya ini sangat jelas, yakni ingin memanfaatkan apa-apa yang ada di sekitarnya, atau apa yang sebenarnya umum dan biasa menjadi sesuatu yang lain, sesuatu yang baru. Ia berusaha mengangkat benda-benda yang ada dalam keseharian kita menjadi bagian dari idiom-idiom estetiknya. Benda-benda itu diolahnya dalam kesatuan yang utuh dan ditempatkan di sudut-sudut ruangan dengan perhitungan yang matang. Benda-benda tersebut kemudian saling berdialog satu sama lain. Misalnya lukisan yang dengan media akrilik berdialog dengan jam dinding kuno, roda sepeda dengan kursi kayu, pagar besi dengan rak piring alumunium. Kemudian sejumlah graffiti di dinding dapur berdialog dengan alat-alat masak, pecahan keramik berdialog dengan tulisan-tulisan tangan Iwan yang menyentil banyak hal, mulai dari pentingnya gedung kesenian sampai kejengkelannya pada kota yang tidak berbudaya. Meskipun dalam undangan Iwan menyebut angka 51 untuk jumlah karya yang akan dipamerkan, yang nampaknya berkaitan dengan 51 tahun kemerdekaan Republik Indonesia, namun yang ditampilkan dalam pamerannya ini adalah “sebuah karya” yang utuh, sebuah kesatuan.

Belakangan karya semacam ini, yakni karya yang mencoba keluar dari batasan-batasan konvensional seperti lukisan atau patung, memang sedang marak dan banyak dilakukan seniman-seniman di kota besar dengan istilah yang mereka sebut sebagai “seni instalasi”. Mengenai hal ini Iwan Koeswanna menolak tegas karyanya dimasukkan dalam katagori tersebut. “Saya tidak mengerti apa itu seni instalasi, yang saya lakukan ini hanyalah merespons ruangan dengan benda-benda yang ada di lingkungan sini,” katanya. Iwan nampaknya tak mau repot-repot atau terjebak dalam peristilahan canggih namun sering salah kaprah itu. Baginya berkesenian adalah bekerja, menggambar, melukis, mengumpulkan benda-benda dan bahkan mengecat rumah atau membetulkan pagar. Semua aktivitas ini dilakukannya setiap hari.

Dalam pameran seni rupa yang diberinya judul Spion Dan Bebek ini, Iwan Koeswanna tidak hanya memajang lukisan beserta benda-benda temuannya, namun juga mewarnai dinding dan lantai. Dinding-dinding rumahnya menjadi penuh warna dan bahkan ia pun membuat gambar atau graffiti di beberapa sudut. Ruangan depan ia cat dengan biru tua, ruangan tengah dengan merah dan coklat muda, sedang bagian belakang dan dapur dengan oranye. Memasuki ruangan pamerannya mula-mula kita disuguhi suasana dengan warna-warna berat dan menekan, namun kemudian berangsur-angsur menjadi terang dan menyilaukan. Ini jelas sebuah metafor yang ingin disampaikan sang seniman bagi publik penikmatnya untuk dibaca, ditafsirkan dan sekaligus direnungkan.

Dari seluruh karya kontemporer yang dipamerkannya ini, unsur lukisan masih cukup dominan. Dan jika ditilik lebih jauh, lukisan-lukisan Iwan Koeswanna sebenarnya masih berada pada batasan konvensional, yakni lukisan akrilik di atas karton yang kemudian direkatkan pada sebilah triplek. Namun yang agak “ganjil” justru cara Iwan memasang lukisan-lukisan tersebut. Ada yang dipasang dengan zigzag, ada juga yang dipasang diagonal, vertikal atau horisontal. Lukisan-lukisan tersebut menjadi berkesinambungan karena obyek yang dipilihnya sama, yakni kaca spion dan setir mobil, sehingga dalam setiap lukisannya selalu ada bentuk lingkaran serta dua tangan yang sedang memegang lingkaran tadi.

Tema tentang mobil ini merupakan perkembangan terakhir dari karya-karya Iwan Koeswanna. Menurut pengakuannya, tema ini mulai digarap ketika untuk pertama kalinya ia mempunyai mobil pribadi. Setiap ia sedang mengemudi selalu muncul berbagai pertanyaan dalam dirinya, dan ia merasakan seperti ada jarak dengan lingkungannya. Lewat kaca spion ia menyaksikan berbagai adegan kehidupan. Bukan hanya menyaksikan kelompok orang-orang di sepanjang jalan, tapi juga melihat rombongan bebek-bebek. Kaca spion seolah-olah menjadi cermin tempat ia membaca berbagai ketimpangan sosial, ekonomi dan politik yang terjadi di sekelilingnya.
(1996)
Prev Next Next