Share |

Artikel 17

GRAFIS KONSTANTIN JAXY

Acep Zamzam Noor


SALAH satu daya tarik senirupa Jerman adalah semangatnya. Semangat ini telah menjadi karakter yang menapasi karya-karya seni lukis maupun grafis dari waktu ke waktu. Ekspresionisme, sebuah mazhab seni yang penuh kobar semangat berkembang pesat di negeri ini. The Brucke, The Blue Raiter serta The Bauhaus yang mencuatkan nama-nama seperti Erick Heckel, Ernrst Ludwig Kircher, Emil Nolde, Otto Mueller, Kandinsky, Franz Marc, August Macke sampai Max Beckman merupakan tonggak ekspresionisme Jerman di masa lalu.

Sedang dalam kurun sekarang, lewat tokoh-tokoh seperti George Bazelit, A.R. Penck, Walter Dahn dan kawan-kawan mazhab yang dipelopori Vincent Van Gogh ini sampai pada tingkat paling brutal dan liar, sebagai neo-ekspresionisme. Karya-karya angkatan baru ini bukan saja ekstrim dalam ungkapan, tapi juga sinis mengejek keterampilan teknis konvensional dengan media campurannya yang bebas. Karya-karya mereka yang keras dan terkadang jorok itu sering tampil dalam ukuran-ukuran raksasa.

Constantin Jaxy, seorang pegrafis muda dari kota pelabuhan Bremen, juga tak lepas dari semangat yang menjadi karakter kesenian di negerinya. Karya-karya grafisnya yang dipajang di Galeri Decenta belum lama ini, menampilkan suasana yang aneh dan mengerikan. Jexy berangkat dari lingkungannya yang keras, sebuah kota pelabuhan yang menyimpan benda-benda raksasa dari hasil teknologi dan arsitektur, seperti galangan kapal, mesin derek, gudang tua, jembatan, mobil dan semacamnya. Benda-benda raksasa itu dalam pandangan Jaxy berkembang menjadi sesuatu yang imajinatif dan merangsang daya khayalnya, hingga kemudian lahir menjadi realitas baru dalam karya-karyanya.

Secara teknis pegrafis ini barangkali masih tergolong konvensional, dengan menggunakan dry point (tembaga dan alumunium), etsa, litografi dan drawing (kapur, tinta, grafit). Yang menarik dari karya-karyanya karena ia berhasil menampilkan keterasingan manusia di tengah dunia industri dan teknologi. Manusia, yang tidak ditampakkan secara visual dalam karya-karyanya, hadir dalam imajinasi penikmat setelah menyaksikan benda-benda raksasa yang mirip mahluk-mahluk aneh dan mengerikan atau seperti naga-naga zaman mesin yang begitu mengancam kehidupan. Manusia, justru hadir karena ketidaktampakannya setelah tertelan oleh benda-benda raksasa itu.

Rupanya Constantin Jaxy adalah pengamat lingkungan yang jeli. Sudut pandangnya yang ganjil dalam menangkap obyek telah membawa karya-karyanya pada makna ganda. Dalam “Verwundeter Lowe” yang berarti singa yang luka, Jaxy menggambarkan sebuah jembatan layang yang hampir ambruk. Goresannya yang ekspresif dengan sapuan kuas besar menjelmakan obyek gambarannya menjadi mahluk – mirip singa – yang sedang mengerang kesakitan. Ada pemaknaan pada benda mati itu hingga gambarannya menjadi lebih berbicara. Begitu juga dalam “Falter”, yang menggambarkan sebuah kapal terbang raksasa. Mungkin tidak sekedar main-main jika ia menamakan benda keras itu sebagai kupu-kupu. Ada maksud yang lebih jauh tentunya.

Karya-karya Constantin Jaxy memang bergerak dari satu benda ke benda lainnya. Kapal terbang, kapal selam, mobil hantu, istana gerak, jembatan layang dan kota laut merupakan obyek-obyek yang menyiratkan kesunyian yang mencekam dan magis. Dengan keterbatasannya pada penggunaan hitam putih, sesungguhnya Jaxy telah membebani karya-karyanya, lebih berat lagi, yakni pada suasana yang menekan dan mengancam. Lihatlah “Seetank” atau kapal selam, sebuah mahluk mirip ikan hiu yang meyeruduk dari kegelapan. Mahluk ini nampak begitu mengancam. Atau simak “Rotamint”, yang menggambarkan sebuah bangunan raksasa yang di dalamnya mirip labirin yang siap menelan siapa saja yang memasukinya.

Ada kecenderungan dari pegarafis ini untuk menonjolkan obyek-obyek yang digambarkan dengan mengembangkan perspektifnya yang unik hingga timbul kesan betapa kecil dan tak berdayanya manusia di hadapan raksasa-raksasa itu. Kesunyian, kengerian, keterasingan manusia menjadi tema sentral karya-karyanya. Sebagai manusia modern, lebih-lebih tinggal dan hidup di dunia Barat, gagasan-gagasan yang ditampilkan Jaxy ini cukup jujur. Ia berontak bukan dengan cara protes, tapi memberikan kesaksian-kesaksian pada apa yang ia rasakan di sekelilingnya. Karya-karya yang bernada muram memang lahir dari sudut pandangannya yang cemas terhadap dunia yang sedang bergerak pada kehancuran.

Sesungguhnya karya-karya Constantin Jaxy ini tidak terlalu istimewa dalam hal teknik. Sebagaimana umumnya seniman grafis ia masih bertumpu pada garis sebagai ruh dari karya-karyanya. Pada karya-karya yang dibuat awal 1980-an seperti “Rotamint”, “Pantheon”, “Kulturpalast”, “Amphypolis”, tampak bahwa ia masih terpaku pada bentuk-bentuk yang tertib. Tema bangunan-bangunan raksasa itu digambarnya dengan arsiran garis yang nyaris realistis. Gagasan yang ingin ditampilkan tidak hadir lewat kespontanannya menggaris, tapi dari hasil akhir karya secara keseluruhan.

Sedang pada karya-karya berikutnya, garis-garisnya terasa lebih spotan dan emosional. Perhatiannya pada kontras gelap dan terang – yang menjadi sangat penting dalam karya hitam-putih – sangat menolong daya cekam dari obyek-obyek yang diangkatnya. Pada “Panorama”, “Ohne Title” atau “Falle”, ungkapan Jaxy menjadi abstrak. Sapuan-sapuan lebar dan garis-garis tajam menjadi permainan yang mengasyikan. Apalagi dengan drawing yang memakai media kapur, tinta dan grafit, banyak muncul efek-efek yang mengejutkan. Begitu juga dengan teknik lithografi seperti yang terlihat pada “Ohne Title”.

Kehadiran Constantin Jaxy di Bandung mudah-mudahan menjadi inspirasi bagi pegrafis-pegrafis muda di sini yang juga menekuni teknik dry point, etsa atau lithografi. Dari karya-karyanya kita bisa menangkap bahwa dalam seni grafis, teknik itu sangat penting meskipun bukan segala-galanya. Sebab yang membuat karya grafis itu segar dan menyiratkan makna yang dalam adalah intensitas ketika mengerjakannya. Kesunyian, kecemasan, kengerian dan keterasingan yang ditampilkan Jaxy sesungguhnya hadir lewat gagasan yang sederhana, namun intensitas dalam pengerjaannya membuat karya tersebut tidak kehilangan daya cekam.

Constantin Jaxy lahir di Bremen (Jerman) tahun 1957. belajar seni rupa di HBK Braunschweig dan menjadi dosen tamu di Stiching Open Ateliers, Rotterdam. Sejak 1982 memamerkan karya-karyanya di San Francisco, Chicago, Vassa, Brusseles, Rotterdam, Kairo, Barcelona dan Basel. Sekarang pegrafis yang mempunyai harapan besar untuk terus maju di negerinya ini sedang mengerjakan satu proyek seni Windfall Project bersama delapan seniman Inggris.

(1990)

Prev Next Next