Share |

Artikel 16

KESUNYIAN DAN KENGERIAN

Acep Zamzam Noor


DALAM percaturan seni lukis Bandung, nama Ratman tidaklah terlalu asing. Sejak awal 1970-an ia sudah memulai kegiatannya sebagai pelukis, yang terus berlanjut dengan menggabungkan diri pada Studio Rangga Gempol, pimpinan pelukis Barli. Meskipun pengetahuan seni lukisnya didapat secara tidak formal, ia merasa bukanlah seorang otodidak murni. Dasar-dasar melukis yang diajarkan Barli menurutnya sangat akademis, bahkan untuk urusan menggambar bentuk atau anatomi mungkin lebih akademis dibanding yang diberikan oleh pendidikan formal itu sendiri. Hal ini bisa dilihat dari beberapa pelukis jebolan Studio Rangga Gempol seperti Rudy Pranajaya. Anton Huang dan Chusin Setiadikara yang rata-rata menonjol penguasaan teknisnya, terutama dalam meniru obyek secara persis.

Tapi perihal Ratman, yang menarik dari lukisan-lukisannya bukanlah dalam hal bagaiamana meniru obyek secara persis, meskipun ia juga mempunyai kemampuan untuk itu. Konon hal ini pula yang menyebabkannya sedikit berbeda dengan kawan-kawan seperguruannya. Bagi Ratman, masalah teknis melukis nampaknya hanya untuk dikuasai dan dilewati saja, sebab yang kemudian menjadi penting dalam kepelukisannya adalah bagaimana mengungkapkan masalah-masalah kehidupan yang terjadi di sekelilingnya, yang bukan hanya disaksikan namun juga harus dihadapi dan dijalaninya dengan dilandasi sebuah obsesi.

“Saya merasakan menjadi bagian manusia-manusia yang kalah oleh berbagai sebab. Manusia-manusia yang tersisih, manusia-manusia yang jadi korban atau dikorbankan”, tulis Ratman dalam katalogus. Dengan sikapnya ini, yakni mengangkat persoalan-persoalan sosial yang ruwet ke atas kanvas jelas akan menempuh sejumlah resiko: karya-karyanya yang memang tidak “turistik” lebih banyak menumpuk ketimbang beredar di galeri-galeri komersial. Dalam percaturan seni lukis kehadirannya pun sering luput, meskipun ia tak pernah surut berkarya.

Dalam menempuh belantara seni lukis yang seakan tanpa peta, Ratman mengaku sering berhadapan dengan hal-hal yang dilematis. Di satu pihak sebagai kepala keluarga ia harus berkompromi dengan menjadi guru honorer di sebuah SMP swasta, tapi di pihak lain ia justru ditantang untuk tetap setia pada panggilan hati nuraninya untuk terus berekspresi. Dengan sikap menduanya ini lukisan-lukisan Ratman justru semakin murung. Ia merasa tak perlu untuk bermanis-manis atau sekedar demontrasi teknis mengikuti selera orang banyak kalau ternyata hati nuraninya menuntun lain. Ia merasa dituntut harus jujur pada diri sendiri.

Sampai di sini, kita melihat Ratman seperti tak peduli pada urusan pasar. Bukan hanya karena tema-tema lukisannya begitu subyektif dan mengarah pada sikap yang fatalistik seperti ditunjukkan oleh karya-karyanya yang terakhir, tapi juga ukuran kanvasnya yang besar-besar – sesuatu yang justru banyak dihindari kebanyakan pelukis sekarang karena tak sesuai dengan tuntutan interior sebuah ruangan.

***

Mengamati lukisan-lukisan Ratman, kita bagaikan membaca catatan harian yang merekam gejolak perasaannya yang terus memuncak dari waktu ke waktu. Diawali dengan perasaan-perasaan kesunyian yang diungkapkan lewat wajah melankolis yang menatap penuh kehampaan seperti yang nampak pada lukisan “Biru” (1978), “Potret Diri I” (1981) atau “Nokturno” (1981) yang terasa menyayat. Lukisan-lukisan ini – serta beberapa lukisan lainnya – melebur dalam warna biru yang suram. Ratman meminimalkan warna menjadi monokromatik agaknya untuk menekan suasana pada keheningan, keluasan, kekosongan dan misteri. Lukisan-lukisan ini sekilas nampak berkesan surealistik, tapi bukan karena obyeknya aneh-aneh atau musykil. Kesan surealistik lebih dituntun oleh atmosfir yang mencekam dan misterius.

Masih dengan meminimalkan pada warna suram kebiruan, Ratman menampilkan sosok-sosok perempuan telanjang yang menyendiri, tersisih dan tertekan oleh keluasan semesta yang lengang dan kosong. Dalam lukisan “Senja” (1986), kesunyian seperti diberi aksentuasi. Begitu juga pada lukisan “Penantian” (1986) dan “Hamil” (1986) yang merupakan ratapan-ratapan kesunyian yang panjang dan tak terjawab. Simbol kursi pada “Penantian”, “Rembulan” dan “Hamil” memperkuat impresi seperti yang telah diisyaratkan oleh judul-judulnya, yakni ketakberdayaan dan keputusasaan. Dalam lukisan-lukisan ini sudut pandang Ratman cukup jeli, sosok-sosok perempuan yang menjadi sentral dalam lukisannya dibuat kecil saja untuk bidang kanvas yang lebar.

Begitulah, kesunyian, kesendirian, ketersisihan terus diulang-ulang Ratman lewat sosok-sosok yang termangu, tergeletak, mengerang atau bahkan menjerit. Ratman seakan-akan ingin membongkar persoalan yang paling dasar dari kehidupan manusia, yakni sangkan paraning dumadi. Di sini nampak sekali ketidakberdayaan Ratman sebagai manusia (atau juga sebagai pelukis dengan sikap mendua) melawan kekuatan besar yang mengungkungnya, menindasnya dan mencampakkannya pada kesunyian dan ketersisihan hidupnya di dunia. Dari mana dan mau pergi ke mana? Ratman terus bertanya.

Ungkapan-ungkapan yang terkadang terasa artifisial ini sebenarnya cukup mempunyai potensi untuk dikembangkan lebih jauh lagi sebagai karya-karya surealis. Ratman sudah mempunyai nada dasar yang otentik dari obsesi-obsesinya yang cenderung mengeksploitasi perasaan-perasaannya yang sentimentil seperti yang dibuktikan lewat “Yang Terkucil” (1986), “Antara Bayang-bayang” (1986), “Romantisme” (1987), “Sang Pelarian Dan Khayal” (1988) dan terutama “Lewat Anak Tangga” (1988) serta “Pejalan Kaki II” (1988). Di sisi lain ia juga mempunyai kemampuan teknis realis yang cukup baik, teknis yang juga dibutuhkan dalam melukis karya-karya surealis.

Namun dalam perkembangan selanjutnya Ratman justru mempunyai pergerakan ke arah yang lain, sekalipun tema dan obsesinya tak jauh berbeda. Sudut pandangnya semakin menyempit, sedang sosok-sosok menjadi dominan mengisi keluasan kanvas. Dan yang mengagetkan garis-garisnya menjadi keras dan bombas, sedang warna semakin kusam kehitaman. Nampaknya persoalan yang dihadapi pelukis dalam kehidupan nyata semakin berat, bukan lagi kesunyian yang dieksploitasi atau yang mengeksploitasi dirinya, namun juga kengerian-kengerian yang cenderung fatalistik. Simak saja “Tangis Sampah” (1990), “Doa Berdarah” (1990), “Kuyup” (1990), “Bangkai” (1990) yang membuat bulu kuduk merinding.

Secara visual lukisan-lukisannya yang terakhir ini nampak begitu menakutkan, bahkan seperti menteror kita sebagai penikmat. Apakah Ratman sedang menteror kondisi seni lukis kini yang semakin genit dengan bunga-bunga dan panorama indah? Lukisan-lukisannya ini jauh dari kesan indah. Sosok-sosok atau wajah-wajah yang ditampilkan mengesankan sedang dilanda depresi yang berat, mengerang, menjerit-jerit namun tetap dengan tatapan yang tak berdaya. Pada lukisannya yang lain ia memberi judul “Korban” yang agaknya dimaksudkan sebagai klimak dari semuanya.

Membaca pergulatan Ratman lewat lukisan-lukisannya yang digelar di Galeri Cedust-PPKIP Bandung belum lama berselang ini memang terasa menyesakkan dada. Tetesan airmata, lelehan keringat, amis darah dan bau bangkai seakan menyeruak dari kanvasnya. Sebagai penikmat, mungkin kita merasa dirasuki virus-virus kegelisahannya atau malah akan tersenyum simpul menyaksikan seorang pelukis yang gagah dan berkumis namun karya-karyanya sangat melankolis. Meskipun demikian, kehadiran Ratman dengan pameran tunggalnya ini – lengkap dengan segala permasalahan yang dibawanya – cukup menarik untuk diapresiasi di tengah kondisi senirupa yang sedang diguncang pasar seperti sekarang ini. Berbeda dengan Diyanto yang menyenandungkan kesakitan secara tersamar, atau Agus Djatnika dan Yudi Yudoyoko yang lebih simbolis dan eksperimental, lewat lukisan-lukisannya Ratman justru bertutur secara naratif dengan kedisiplinan bentuk yang masih tersisa dari pengaruh Barli di masa lalu.

(1990)
Prev Next Next