Share |

Artikel 2

POTRET DIRI IWAN KOESWANNA


Acep Zamzam Noor


SEBUAH delman penuh hiasan memasuki lapangan parkir Gedung Kesenian Tasikmalaya (GKT) yang luas. Para penari yang sintal menyambutnya dengan tarian tradisional. Musik yang ditabuh para nayaga terdengar rancak. Seorang pejabat yang berbatik sutera turun dari delman, disambut orang-orang yang juga berbaju batik namun bukan sutera. Para penari semakin bersemangat, para nayaga seperti kerasukan. Mereka meliuk-liukan tubuhnya. Di sudut lain sekelompok lelaki yang berpeci memainkan rebana, melantunkan kasidah dengan suara bersahaja. Pejabat berbatik sutera itu berjalan perlahan menuju pintu gedung kesenian, diiringi para tamu undangan yang kelihatannya pejabat juga – tentunya dengan eselon atau golongan yang berbeda.


Sebuah peristiwa kesenian berlangsung sore itu. Perhelatan yang menarik perhatian orang-orang yang tengah berolah-raga di sekitar Dadaha. Seorang wanita bertubuh subur nampak sibuk mengatur jalannya prosesi, begitu juga kameramen TV. Para tamu undangan yang berpakaian rapi, para aktivis yang ber-HP, berbaur dengan para seniman yang jarang mandi di lobi gedung. Pejabat yang berbatik sutera itu ternyata H. Wahyu Suradiharja, walikota Tasikmalaya yang akan membuka pameran lukisan Iwan Koeswanna. Sebuah seremonial yang langka untuk perhelatan kesenian seperti seni rupa. Apakah para pejabat Tasikmalaya sudah mulai menaruh perhatian yang lebih baik pada kesenian? Ataukah ada udang di balik perhatian? Pertanyaan ini muncul mengingat pada tahun-tahun terakhir ini, baik bupati maupun walikota tak pernah menginjakkan kakinya di acara-acara kesenian yang hampir tiap bulan digelar para seniman.


Boleh jadi Iwan Koeswanna cukup beruntung dalam perayaan ulang tahunnya kali ini. Para pejabat bukan hanya hadir namun juga menyiapkan sebuah prosesi bagi pembukaan pameran lukisannya. Sementara rekan-rekan seniman seperti penyair Nazarudin Azhar, Ashmansyah Timutiah, Nina Minareli dan deklamator Anas Banana membacakan puisi-puisinya. Dekrit Akustik menyanyikan sejumlah balada gubahan mereka. Doni Muhammad Nur dan Ihin Solihin sibuk mengatur sound-system. Ida Rinda, Linda Cabelita dan Budi Gunawan hilir-mudik membagikan konsumsi. Pembukaan pameran lukisan ini menjadi pesta kesenian tersendiri, sebuah upaya membaurkan beragam jenis kesenian (dan juga kepentingan) dalam sebuah peristiwa.


Dengan menenteng gitar dan harmonika layaknya Franky Sahilatua, Iwan Koeswanna menyanyikan lagu tentang deposito. Deuis Siti Umayah menampilkan sebuah komposisi tari. Enung Sudrajat nampak terharu melihatnya. Diam-diam seorang pejabat menanyakan harga lukisan. Irvan Mulyadi membagikan brosur tentang pentingnya poligami bagi masyarakat yang islami. Yok Kumbara dan Aten Warus tertawa-tawa membacanya. Sebuah kemeriahan di tengah demam sepakbola dan menghangatnya suhu politik menjelang pemilihan walikota.


Berpameran lukisan sambil merayakan ulang-tahun bukanlah yang pertama bagi Iwan Koeswanna. Juga bukan tanpa alasan. Merayakan ulang tahun dengan berpameran lukisan adalah sebuah restrospeksi. Iwan ingin melihat kembali perjalanan hidupnya, juga perjalanan kepelukisannya. Iwan yang sudah mulai melukis sejak akhir 1970-an sengaja mengambil tema “Potret Diri 1980-2002” dalam pamerannya yang berlangsung 22 Juni sampai 6 Juli 2002 ini. Iwan ingin kembali berkaca pada dirinya sendiri. Yogyakarta, Jakarta, Belanda, Tasikmalaya adalah sejumlah tempat di mana sejumlah potret diri itu pernah ditorehkan. Tentu setiap ruang punya getarannya sendiri. Setiap waktu punya suasananya sendiri. Kertas, kanvas, triplek dan bahkan potongan celana jeans bukan sekedar bidang di mana garis, warna, ornamen dan bentuk berkumpul dalam sebuah komposisi. Masing-masing punya kisah, yang memuat jejak ruang dan waktu. Pensil, tinta, akrilik, cat minyak, tali, kayu atau pasir bukan sekedar media. Masing-masing punya sejarahnya sendiri.


Sekitar tigapuluh karya dengan berbagai ukuran digelar di lobi dan ruang atas GKT, empat di antaranya berwujud instalasi meski tetap menempatkan lukisan sebagai titik sentralnya. Menikmati karya-karya Iwan Koeswanna di tengah perhelatan yang melibatkan sastra, musik, tari dan para pejabat yang berbatik menjadi sebuah paradoks yang menarik. Tema karya-karya Iwan yang subyektif nampak membaur, bergesekan dan berjabatan tangan dengan kesenian lain. Karya-karya kontemporer itu mulai berkomunikasi dengan pemirsanya yang masih tradisional dalam apresiasi. Sastra, musik, tari dan kehadiran para pejabat menjadi semacam benang merah yang menghubungkan karya-karya Iwan dengan pemirsanya. Para aktivis politik yang hadir nampak berusaha keras memaknai setiap lukisan yang dipajang. Ada yang keningnya berkerut tapi ada juga yang terbatuk-batuk. Seorang pegawai negeri yang berseragam hansip nampak manggut-manggut di hadapan lukisan besar tentang telepon umum. Beberapa remaja puteri yang bajunya kependekan (hingga udelnya kelihatan) berbisik-bisik di hadapan karya instalasi.


Meski karya-karya Iwan Koeswanna sangat subyektif namun tak lepas dari persoalan sosial yang terjadi di sekelilingnya. Subyektivitas Iwan dalam memandang kenyataan kerap melahirkan karya yang di luar dugaan banyak orang. “Proyek Telepon Umum” misalnya, dibuat sebagai perlawanan pribadi terhadap sebuah kasus yang merugikan dirinya. Perlawanan ini jelas subyektif, namun ketika hadir sebagai karya seni subyektivitas Iwan menjadi punya nilai obyektif juga. Apa yang dialami Iwan bisa dirasakan oleh mereka yang kebetulan mengalami nasib yang serupa. Bahkan karya ini bisa juga dimaknai sebagai protes konsumen telepon terhadap layanan publik yang buruk. Ya, sebuah karya seni yang baik selalu menyediakan tafsir ganda. Ia bukan mono, tapi stereo. Bunyinya banyak, suaranya berbeda-beda.


“Potret Diri 1980-2002” adalah karya instalasi yang juga menarik. Kain kuning berukuran lebar menutup dinding. Sebuah lukisan realis yang menampilkan wajah Iwan ketika berusia muda disatukan dengan lukisan potret dirinya yang baru. Di bagian atas lukisan gabungan itu nampak lambang Garuda Pancasila dalam posisi agak miring ke kiri. Sebuah topeng menggantung di bawahnya. Sedang di lantai terdapat hamparan pasir dan dua buah kursi kayu yang ditumpuk. Sebuah boboko yang berisi baju seragam pegawai negeri bertengger di atas tumpukan kursi itu. Karya instalasi yang kemudian dijadikan tajuk pameran ini memang cukup kontekstual.


Iwan adalah warga negara Republik Indonesia, yang mau tidak mau dalam kurun waktu tertentu harus tunduk di bawah rezim Orde Baru. Kenyataan ini ia lambangkan dengan bentangan kain kuning, di mana dua potret dirinya digantung. Hamparan pasir melambangkan kondisi tanah airnya, di mana pertarungan kekuasaan terus berlangsung hingga era reformasi ini. Namun ujung dari semua persoalan itu ternyata hanyalah urusan boboko (tempat nasi). Hanyalah urusan perut. Tentu karya ini terbuka untuk beragam penafsiran lain. Bagi pengusaha mebel misalnya, kursi hanyalah sebuah produk. Bagi murid sekolah adalah tempat duduk untuk belajar, bagi politisi mungkin merupakan cita-cita tertinggi, sementara bagi sekda yang ingin jadi walikota maknanya tentu menjadi lain lagi.


Di ruang atas GKT, Iwan Koeswanna memajang lukisan-lukisan potret dirinya dari tahun ke tahun. Ada beragam pose, beragam ekspresi. Ada yang diam, ada yang gelisah, ada yang marah. Ada juga yang polos dan lucu. Lukisan-lukisan potret diri Iwan ini mengingatkan kita pada lukisan-lukisan kucing Popo Iskandar. Juga pada potret dirinya Affandi. Ada intensitas yang terus-menerus digali, ada kekhusyukan dan sekaligus kekeraskepalaan. Sebuah dialog dengan diri sendiri yang tak habis-habisnya. “Seni merupakan perenungan dan kadang-kadang berbahaya bagi jiwa…Seni menjadi bumerang bagi pelakunya sendiri…Seni hanya sebagai kewajiban…” tulisnya dalam katalog pameran. Pernyataan Iwan ini menarik karena subyektivitasnya yang muncul justru lahir dari keterlibatannya dengan lingkungan sosial. Ada saat di mana ia melukis sawah dan gunung terus-menerus. Ada masa di mana ia khusyuk melukis anak-anak kecil tetangganya. Tukang-tukang becak yang main gapleh di pinggir jalan pernah juga menjadi obyek lukisannya.


Sebagai seniman Iwan Koeswanna adalah pengamat sosial yang intens. Ia sangat peduli pada perkembangan kota kelahirannya. Ia punya gagasan tentang tata kota yang diimpikannya. Ia punya obsesi tentang museum yang menyimpan benda-benda seni. Ia merindukan perpustakaan umum seperti halnya kota-kota di Eropa. Ia juga memikirkan pentingnya monumen bagi sebuah kota yang berbudaya. Pentingnya ruang publik bagi warga. Kadang pikiran-pikirannya itu disampaikan langsung pada yang berwenang. Kadang diekspresikan dalam tulisan. Tapi kadang hanya menjadi gerutuan. Sebuah puisi yang ditulisnya belakangan ini seperti mengisyaratkan kelelahannya memikirkan nasib bangsa yang dari hari ke hari tak pernah ada perubahanan:


Apa perlu kita mencari Indonesia?

Apa perlu kita menjadi nasionalis?

Apa perlu kita memikirkan tata kota?

Apa perlu kita memiliki perpustakaan kota?

Apa perlu kita membangun museum kota?

Apa perlu kita laporan pertanggung-jawaban?

Apa perlu kita menjadi intelektual?

Apa perlu kita menjadi munafik?

Apa perlu kita menjadi pengikut fanatik?

Apa perlu kita memiliki kekasih gelap?


Bagi Iwan Koeswanna melukis adalah sebuah pekerjaan. Dan pameran lukisan jadi semacam laporan pertanggung-jawaban. Setiap tahun Iwan merasa perlu melaporkan hasil pekerjaannya pada masyarakat. Melaporkan kerja kerasnya pada khalayak. Melaporkan upayanya mempertahankan peradaban. Kadang pameran lukisannya berlangsung pada saat ulang tahun RI, kadang pada saat ulang tahun dirinya sendiri. Ya, baginya melukis adalah sebuah pekerjaan yang serius, yang dijalani terus-menerus. Pekerjaan yang bukan hanya mengeluarkan keringat, tapi juga tetesan darah dan airmata. Berbeda dengan para wakil rakyat yang digaji sangat besar oleh negara, atau para pejabat yang mempunyai banyak sumber dana, pekerjaan seniman yang tak mempedulikan jam kerja, hari libur dan kesehatan ini memang tak pernah mengenal gaji seumur-umur.

(2002)

Prev Next Next