POTRET DIRI IWAN KOESWANNA
Acep Zamzam Noor
SEBUAH delman penuh hiasan memasuki lapangan parkir Gedung Kesenian Tasikmalaya (GKT) yang luas.
Sebuah peristiwa kesenian berlangsung sore itu. Perhelatan yang menarik perhatian orang-orang yang tengah berolah-raga di sekitar Dadaha. Seorang wanita bertubuh subur nampak sibuk mengatur jalannya prosesi, begitu juga kameramen TV.
Boleh jadi Iwan Koeswanna cukup beruntung dalam perayaan ulang tahunnya kali ini.
Dengan menenteng gitar dan harmonika layaknya Franky Sahilatua, Iwan Koeswanna menyanyikan lagu tentang deposito. Deuis Siti Umayah menampilkan sebuah komposisi tari. Enung Sudrajat nampak terharu melihatnya. Diam-diam seorang pejabat menanyakan harga lukisan. Irvan Mulyadi membagikan brosur tentang pentingnya poligami bagi masyarakat yang islami. Yok Kumbara dan Aten Warus tertawa-tawa membacanya. Sebuah kemeriahan di tengah demam sepakbola dan menghangatnya suhu politik menjelang pemilihan walikota.
Berpameran lukisan sambil merayakan ulang-tahun bukanlah yang pertama bagi Iwan Koeswanna. Juga bukan tanpa alasan. Merayakan ulang tahun dengan berpameran lukisan adalah sebuah restrospeksi. Iwan ingin melihat kembali perjalanan hidupnya, juga perjalanan kepelukisannya. Iwan yang sudah mulai melukis sejak akhir 1970-an sengaja mengambil tema “Potret Diri 1980-2002” dalam pamerannya yang berlangsung 22 Juni sampai 6 Juli 2002 ini. Iwan ingin kembali berkaca pada dirinya sendiri. Yogyakarta,
Sekitar tigapuluh karya dengan berbagai ukuran digelar di lobi dan ruang atas GKT, empat di antaranya berwujud instalasi meski tetap menempatkan lukisan sebagai titik sentralnya. Menikmati karya-karya Iwan Koeswanna di tengah perhelatan yang melibatkan sastra, musik, tari dan para pejabat yang berbatik menjadi sebuah paradoks yang menarik. Tema karya-karya Iwan yang subyektif nampak membaur, bergesekan dan berjabatan tangan dengan kesenian lain. Karya-karya kontemporer itu mulai berkomunikasi dengan pemirsanya yang masih tradisional dalam apresiasi. Sastra, musik, tari dan kehadiran para pejabat menjadi semacam benang merah yang menghubungkan karya-karya Iwan dengan pemirsanya.
Meski karya-karya Iwan Koeswanna sangat subyektif namun tak lepas dari persoalan sosial yang terjadi di sekelilingnya. Subyektivitas Iwan dalam memandang kenyataan kerap melahirkan karya yang di luar dugaan banyak orang. “Proyek Telepon Umum” misalnya, dibuat sebagai perlawanan pribadi terhadap sebuah kasus yang merugikan dirinya. Perlawanan ini jelas subyektif, namun ketika hadir sebagai karya seni subyektivitas Iwan menjadi punya nilai obyektif juga. Apa yang dialami Iwan bisa dirasakan oleh mereka yang kebetulan mengalami nasib yang serupa. Bahkan karya ini bisa juga dimaknai sebagai protes konsumen telepon terhadap layanan publik yang buruk. Ya, sebuah karya seni yang baik selalu menyediakan tafsir ganda. Ia bukan mono, tapi stereo. Bunyinya banyak, suaranya berbeda-beda.
“Potret Diri 1980-2002” adalah karya instalasi yang juga menarik. Kain kuning berukuran lebar menutup dinding. Sebuah lukisan realis yang menampilkan wajah Iwan ketika berusia muda disatukan dengan lukisan potret dirinya yang baru. Di bagian atas lukisan gabungan itu nampak lambang Garuda Pancasila dalam posisi agak miring ke kiri. Sebuah topeng menggantung di bawahnya. Sedang di lantai terdapat hamparan pasir dan dua buah kursi kayu yang ditumpuk. Sebuah boboko yang berisi baju seragam pegawai negeri bertengger di atas tumpukan kursi itu. Karya instalasi yang kemudian dijadikan tajuk pameran ini memang cukup kontekstual.
Iwan adalah warga negara Republik
Di ruang atas GKT, Iwan Koeswanna memajang lukisan-lukisan potret dirinya dari tahun ke tahun.
Sebagai seniman Iwan Koeswanna adalah pengamat sosial yang intens. Ia sangat peduli pada perkembangan
Apa perlu kita mencari
Apa perlu kita menjadi nasionalis?
Apa perlu kita memikirkan tata
Apa perlu kita memiliki perpustakaan
Apa perlu kita membangun museum
Apa perlu kita laporan pertanggung-jawaban?
Apa perlu kita menjadi intelektual?
Apa perlu kita menjadi munafik?
Apa perlu kita menjadi pengikut fanatik?
Apa perlu kita memiliki kekasih gelap?
Bagi Iwan Koeswanna melukis adalah sebuah pekerjaan. Dan pameran lukisan jadi semacam laporan pertanggung-jawaban. Setiap tahun Iwan merasa perlu melaporkan hasil pekerjaannya pada masyarakat. Melaporkan kerja kerasnya pada khalayak. Melaporkan upayanya mempertahankan peradaban. Kadang pameran lukisannya berlangsung pada saat ulang tahun RI, kadang pada saat ulang tahun dirinya sendiri. Ya, baginya melukis adalah sebuah pekerjaan yang serius, yang dijalani terus-menerus. Pekerjaan yang bukan hanya mengeluarkan keringat, tapi juga tetesan darah dan airmata. Berbeda dengan para wakil rakyat yang digaji sangat besar oleh negara, atau para pejabat yang mempunyai banyak sumber dana, pekerjaan seniman yang tak mempedulikan jam kerja, hari libur dan kesehatan ini memang tak pernah mengenal gaji seumur-umur.
(2002)