Share |

Artikel 21

SURGA ITU BIRU KEHIJAUAN

Acep Zamzam Noor


SEHABIS mengikuti acara “Dialog Seni dan Apresiasi Sastra Islami” di Universitas Brawijaya Malang, akhir Desember 1990 lalu, penyair D. Zawawi Imron mengajak saya dan Ahmad Syubbanuddin Alwy untuk mampir ke rumah Amang Rahman di Surabaya. Ajakan ini sangat menarik mengingat sudah lama saya ingin mengenal seniman terkemuka dari Surabaya ini lebih jauh. Sebelumnya saya hanya bertemu dalam acara-acara pameran lukisan di Jakarta atau ketika menginap di Wisma Seni TIM tanpa pernah berkesempatan untuk berbincang secara leluasa.

Amang Rahman menyambut kedatangan kami dengan keramahannya yang khas, setelah bicara sebentar di ruang tamu dia langsung mengajak kami keliling menikmati lukisan-lukisannya baik yang digantung di dinding atau yang disandarkan begitu saja di seluruh ruangan rumah barunya yang asri. Tampak beberapa lukisan yang masih basah catnya serta sejumlah lukisan tua yang berhasil dikumpulkannya kembali dari beberapa teman, lukisan yang konon dulu pernah ditukarnya dengan beras atau apa saja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Setelah berkeliling dengan leluasa kami berbincang di belakang, di ruang kerjanya yang juga sekaligus tempat merawat bonsai-bonsai kesayangannya.

Kesan yang kemudian timbul dalam diri saya adalah keharuan. Betapa tidak, orang setua Amang Rahman ternyata masih mempunyai semangat yang begitu membara dalam melakoni dan memikirkan dunia seni lukis, sebuah dunia ganjil yang telah dipilihnya. Kini dari lelaki yang seluruh rambutnya sudah memutih itu lukisan terus mengalir dengan deras. Begitu juga seluruh aktivitasnya dalam menghidupkan kehidupan seni lukis di kotanya tak pernah surut. Beberapa kali dia menyelenggarakan pameran lukisan karya rekan-rekannya yang sudah meninggal. Pameran itu bukan hanya berlangsung di Surabaya, tapi juga diboyongnya ke Jakarta. Sedangkan pada rekan-rekannya yang lebih muda, dia sangat terbuka dan banyak memacu semangat mereka. “Sekarang saya lebih banyak memberi kesempatan pada yang muda-muda,” katanya.

Amang Rahman lahir di Surabaya 21 November 1931 dari sebuah keluarga besar keturunan Arab yang taat beragama. Masa kecilnya dilewatkan di Sidoarjo (tempat asal ibunya), Madura dan Surabaya telah memberikan pengalaman hidup yang cukup beragam hingga sekolah dasarnya pun tak pernah diselesaikan. Amang yang tumbuh dalam lingkungan Islam sejak kecil sudah mempelajari Al-Qur`an, sedang kesenian dan kebudayaan Islam banyak didengarnya dari cerita dan petuah kakeknya. Ketika menginjak remaja Amang suka mengunjungi masjid dan makam-makam kuno untuk berziarah atau sekedar tertarik pada nisan-nisannya yang banyak bertuliskan hurup-hurup Arab dan Jawa kuno.

Perkenalannya dengan seni lukis sebenarnya diawali dengan kecintaannya pada kesenian secara umum, terutama kesenian tradisional Jawa dan Madura. Dari sinilah sebuah pergumulan panjang yang penuh dedikasi dimulai. Sebagai seorang otodidak perjalanan kepelukisn Amang Rahman sangat berliku-liku. Ia belajar langsung dari lingkungan dan juga tentunya dari buku-buku yang banyak dibacanya. Nampaknya ia begitu menyadari pentingnya sebuah proses dalam berkesenian, sehingga ia tak membutuhkan jalan pintas yang murahan untuk mencapai tujuan. Kesulitan demi kesulitan hidup di tempuhnya dengan tetap tersenyum sampai ia betul-betul menemukan bahasa keseniannya yang otentik, bahasa yang khas Amang Rahman.

Ketika dua buah lukisannya yang berjudul “Menjolok Bulan” dan “Mencari Yang Tak Tahu” memenangkan hadiah dalam Bienale Seni Lukis 1989 versi DKJ, ia mengatakan bahwa melukis baginya adalah meneteskan keringat, darah dan airmata. Pernyataan ini menjadi tidak berlebihan karena keluar dari mulut pelukis yang seluruh hidupnya didedikasikan pada dunia seni yang dicintainya. Kita bisa membayangkan, bagaimana ia harus melepas lukisannya untuk ditukar dengan beras, atau bagaimana ia harus mengatasi kontrakan rumahnya yang habis dengan meminta uang muka pada orang yang belum tentu mau membeli lukisannya. Namun nyatanya ia terus melukis dan melukis, bahkan ketika kehidupannya membaik – ketika lukisan-lukisannya mulai diburu orang – ia tetap melukis dengan sikap yang sama, dengan kekhusyukan yang sama, di rumah barunya yang asri.

Seluruh perjalanan hidupnya tampak telah terefleksikan dengan baik dalam setiap lukisan yang terkadang bernada murung, misterius, mengerikan tapi sekaligus menyiratkan kejenakaan. Suka dan duka diaduknya menjadi sesuatu yang fantastis. Dan di atas semuanya itu ada yang memancar dari sana, yakni kejujurannya yang terkadang berkesan lugu. Amang tak pernah menutupi kekurangan atau kekakuannya dalam membentuk anatomi manusia, bahkan hal-hal mendasar seperti itu menjadi tidak penting lagi dimasalahkan dalam konteks lukisan Amang Rahman. Kita akan segera tercekam oleh suasana yang hadir dari kekhusyukan renungannya – sekalipun kita menyaksikan ada kenaifan bentuk di sana. “Saya bukan pelukis potretis,” begitu pengakuannya.

Lukisan Amang Rahman yang kita kenal – sebagaimana sering disebut orang – adalah surealis. Barangkali istilah ini untuk memudahkan saja dalam menyebut jenis lukisan yang garib dengan simbol-simbol yang berkesan mistis, jadi bukan dihubung-hubungkan dengan akar surealisme dalam konteks sejarah seni lukis di Barat. Lukisan Amang memang lebih merupakan kontemplasi terhadap eksistensi dirinya sebagai dunia “mikro” serta eksistensi di luar dirinya sebagai dunia “makro”. Menurutnya, yang termasuk dalam dunia “mikro” selain dirinya sendiri juga keluarganya yang merupakan lingkungan terdekat dalam kehidupannya sehari-hari. Sedang yang termasuk dunia “makro” adalah eksistensi manusia pada umumnya yang lahir dan hidup di dunia fana dengan segala permasalahannya, atau dengan kata lain sesuatu yang di luar dirinya sendiri termasuk nilai-nilai yang sifatnya universal.

Dalam kerangka berpikir seperti inilah Amang Rahman melukiskan renungan-renungannya dengan khusyuk. Lewat bahasa visual seperti garis, warna, bentuk, bidang serta elemen-elemen rupa lainnya renungan-renungan Amang terasa begitu mengawang, luas dan seakan tanpa batas. Terkadang berupa percakapan diri, terkadang berupa refleksi tentang berbagai persoalan yang terjadi di sekelilingnya, atau sekedar reaksi terhadap suatu peristiwa yang dialaminya. Tapi semuanya kemudian melebur dalam sikap tafakur, yang pada gilirannya akan bermuara pada sikap syukur kepada Sang Pencipta.

Sejumlah lukisan kemudian diberinya judul “Tafakur”. Beberapa lukisan dari seri ini yang sempat saya saksikan, memang terasa begitu sublim. Di sana tergambar sosok-sosok kaku yang bersila dengan sikap meditasi diulang-ulangnya menjadi semacam gradasi pada bentuk yang semakin mengecil. Sosok-sosok yang berwarna kuning kemerahan itu seakan membersit bagaikan gerakan cahaya di tengah alam semesta yang lengang dan gelap. Warna biru yang terkenal khas milik Amang Rahman tampak sebagai gerumbul awan yang melayang-layang. Sedang pada lukisan lain, tampak sosok-sosok yang mirip batu nisan menunduk di tengah kelengangngan yang didominasi warna biru kehitaman. Lukisan ini sepintas bagaikan kuburan di tengah padang pasir pada saat malam hanya sedikit diterangi sinar bulan. Ada permainan gelap-terang pada sosok-sosok misterius itu, hingga suasana pun terasa mencekam.

Sikap tafakur, yakni upaya merenungi diri, lingkungan, alam semesta serta Sang Pencipta tampak menjadi ciri yang kuat dari lukisan Amang Rahman. Pengulangan bentuk yang sering dilakukannya – entah itu dalam bentuk gelombang awan, garis-garis lengkung atau sosok-sosok – dimaksudkan untuk menegaskan kesan seperti halnya sebuah komposisi musik yang ritmis, yang konon bisa membawa pendengarannya pada suasana trance, atau zikir yang memabukkan. Sedangkan warna biru yang tak pernah lepas dari setiap lukisannya bukan sekedar sebagai warna favorit saja, tapi lebih dari itu merupakan simbol yang sudah menjadi obsesinya. “Kata kakek saya, sorga itu warnanya biru yang ada hijaunya,” katanya. Dan memang, warna-warna dalam lukisan Amang nyaris bisa dirumuskan sebagai biru yang nuansanya menuju hijau dan terus bergerak ke arah gelap untuk bidang yang menjadi latar, sedang kuning keputihan atau kemerahan untuk obyek utamanya.

Lukisan Amang Rahman memang sarat dengan simbol-simbol. Awan, yang juga hampir tak pernah lepas dari setiap lukisannya mempunyai makna tersendiri, yakni kemungkinan-kemungkinan atau perubahan-perubahan dalam kehidupan. Di ruangan depan rumahnya, tersandar sebuah lukisan yang masih basah catnya, dalam lukisan itu tampak sepasang kuda berkepala manusia sedang berenang di awan yang bergelombang. Sepasang kuda itu berwarna kuning keputihan, sementara gelombang awannya bernuansa biru kehijauan yang bergradasi menuju gelap. “Itu lukisan tentang kehidupan keluarga,” begitu ia menjelaskan lukisan terbarunya.

Dalam upayanya berdialog dengan Sang Pencipta, Amang pun banyak mengungkapkannya dengan melukis kaligrafi. Tapi di tangan pelukis religius ini, kaligrafi Arab hadir menjadi sesuatu yang lain. Amang menolak jika dalam melukis kaligrafi diharuskan mematuhi aturan-aturan baku seperti gaya kufi, diwani, farisi, sulusi dan sebagainya. Baginya melukis kaligrafi harus disesuaikan dengan makna ayat-ayat itu sendiri. “Masa ayat-ayat tentang kebaikan atau yang menceritakan keagungan Tuhan harus disamakan gayanya dengan ayat-ayat yang isinya mengutuk setan,” demikian kira-kira alasan Amang. Jadi baginya melukis kaligrafi berarti juga menafsirkan ayat-ayat, yang kemudian akan melahirkan ungkapan yang khas. Bentuk dan gaya yang khas. Nampaknya kesukaan mengunjungi masjid serta makam-makam kuno di masa mudanya telah memberikan pengaruh yang cukup berharga bagi karya-karya kaligrafinya sekarang.

Dalam lukisan “Kupanggil Nama-Mu” yang dibuatnya tahun 1990, Amang mengungkapkan kerinduan dan harapannya akan pengampunan Tuhan, dengan menyebut salah satu asma-Nya. Lukisan dibentuk oleh garis-garis yang halus dan efesien dengan warna biru keputihan yang dominan. Di tengah garis-garis yang meliuk halus itu tampak lubang-lubang hitam yang misterius, seolah terowongan panjang yang harus dilalui dalam mencapai ampunan-Nya. Garis-garis yang sebenarnya membentuk hurup-hurup Arab telah menjelmakan kesan lain, yang menyeret kita pada perenungan yang lebih dalam.

Yang unik dari pelukis ini, bahwa untuk mencapai kehalusan permukaan kanvas ia tak pernah menggunakan kuas, tapi langsung memakai jari-jarinya sendiri hingga warna-warna yang dihasilkannya begitu sensitif dan terkontrol. Hal ini nampak sekali pada lukisan “Dia Yang Satu”, yang merupakan kaligrafi dari surat Al-Ihlas. Dalam lukisan berukuran sedang ini garis-garis yang digoreskan Amang meliuk-liuk halus, sementara latar yang didominasi kuning kecokelatan begitu lembut dengan nuansa yang cenderung redup. Terjadi permainan gelap dan terang pada setiap bidangnya, sedang lobang-lobang yang bertebaran di antara huruf-huruf diisinya dengan warna biru yang terkesan misterius.

Amang Rahman adalah pelukis yang juga penyair. Dari kanvasnya kita tidak hanya menemukan elemen-elemen rupa, tapi juga kata-kata yang berbisik lirih pada kita, bercerita tentang sesuatu yang mengajak kita untuk lebih merenungkan makna hidup serta mengingat kematian sambil terus berusaha mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Lukisan-lukisannya merupakan bentuk tafakur yang mengingatkan kita tentang kefanaan dunia, begitu juga dengan puisi-puisinya yang meskipun pengungkapannya sederhana namun mengandung kedalaman makna. Bulan terhimpit/antara dua batu/dari keningnya/mengucur peluh satu-satu.

(1991)
Prev Next Next