Share |

Artikel 20

PERJALANAN UMI DACHLAN

Acep Zamzam Noor


PERJALANAN ke luar negeri bagi sementara pelukis merupakan suatu pencerahan. Kerutinan sehari-hari, kejenuhan atau bahkan kemuakan pada hal-hal yang rutin dan biasa, seperti terlepaskan ketika menyaksikan dan merasakan sesuatu yang lain di negeri orang. Alam, budaya dan juga sikap manusia-manusianya memberikan masukan yang kaya bagi pikiran dan perasaan. Jelas perjalanan seorang pelukis bukan pelancongan seorang turis, sebab selain menyaksikan hal-hal yang visual juga menyerap dengan intens atmosfirnya secara spiritual.

Umi Dachlan termasuk pelukis yang gemar melakukan perjalanan ke luar negeri, terutama negeri-negeri Eropa seperti Perancis, Spanyol dan Belanda. Bukan hanya ke kota-kotanya yang menyimpan banyak museum, tapi juga ke pelosok-pelosoknya yang memiliki keunikan lokal. Bagi pelukis wanita ini melakukan perjalanan merupakan bagian dari proses kreatif penciptaan karya-karyanya. Maka tak heran dari 35 lukisan (yang semuanya menggunakan akrilik pada kanvas dan kertas) yang digelar di Galeri Bandung, 24 Maret-30 April 1990 penuh dengan judul-judul asing seperti “Cuzco”, “Rocamadour”, “Madera”, “Horn Fleur”, “Zaragoza”, “Nairobi”, “Corrida de Toro”, “La Hague”, “De Noche Y Flamenco” dan semacamnya.

Yang menarik, dari judul-judul yang mengacu pada nama dan tempat itu kita sepertinya tak menemukan representasi apapun selain pengolahan unsur-unsur rupa seperti garis, bidang, tekstur, warna yang nyaris sempurna. Bongkahan-bongkahan bidang tak rata dalam komposisi yang matang, tumpukan-tumpukan warna yang penuh perhitungan, dengan torehan-torehan tegas yang menyilang sebagai aksentuasi. Nampaknya yang direkam Umi Dachlan dari pengembaraannya bukan saja yang dapat dilihat mata, tapi juga yang diserap batin. Petani, bukit-bukit, hutan, julangan gedung-gedung yang disaksikannya ia rekam sebagai pengalaman visual dalam memorinya, yang suatu saat -- setelah diperkaya dengan pengalaman-pengalaman lain --akan dimuntahkan ke atas kanvas sebagai komposisi. Umi Dachlan bukan termasuk pelukis yang biasa bekerja langsung di depan obyek, yang membawa kanvas ke alam terbuka dan melukis di bawah terik matahari dengan memakai topi atau payung. Umi adalah pelukis studio, ia mengerjakan seluruh karyanya hanya di studio. Maka mekipun masih mengacu pada obyek-obyek tertentu namun hasil akhirnya tetap non-representasional. Jadi lukisan-lukisannya tidak terkesan turistik.

Sekitar dua atau tiga dasawarsa yang lalu sejarah senirupa modern Indonesia pernah diramaikan dengan dihadapkannya “Mazhab Bandung” dengan “Kubu Yogya”. Para pengamat menyebut pelukis-pelukis Bandung yang berorientasi pada seni modern dianggap sebagai kebarat-baratan, sementara pelukis-pelukis Yogya disebut sebagai penggali tradisi. Umi Dachlan termasuk salah satu tokoh pendukung dalam “Mazhab Bandung” di samping Ahmad Sadali, A.D. Pirous, Srihadi, Popo Iskandar, Mochtar Apin dan Rustam Arief. Karya-karya mereka sering dianggap sebagai lukisan abstrak non-piguratif, non-representasional. Tapi sebenarnya lukisan mereka bukannya tanpa obyek sama sekali, sebab jika diamati dengan lebih seksama, betapapun abstraknya, ternyata mereka berangkat dari realitas juga. Sadali berangkat dari retakan-retakan tanah yang mengingatkannya pada kefanaan dunia, ia juga banyak mengangkat bercak-bercak emas sebagai lambang dari kagungan atau keilahian. Pirous berangkat dari batu-batu nisan kuno yang penuh tekstur dan ornamen kaligrafi Arab. Batu-batu nisan kuno ini banyak terdapat di kampung halamannya di Meulaboh, Aceh. Srihadi atau Popo Iskandar jelas mengangkat obyek-obyek dari realitas seperti pantai, bukit, candi, binatang dan bahkan penari. Sedang Umi Dachlan berangkat dari realitas alam seperti panorama pantai, bukit, gunung atau batu karang serta keunikan budaya-budaya etnik di mancanegara.

Menilik 35 lukisan yang dikemas dengan bingkai bagus dan dipanjang dengan rapih, secara umum lukisan-lukisan ini merupakan esensi dari keterpesonaan sang pelukis terhadap apa yang dilihat, dirasakan, dihayati selama melanglang buana. Beberapa lukisannya tampak penuh gelora, lainnya justru menyimpan ketenangan. Ada juga sejumlah karya lain yang membuat gelora dan ketenangan seperti menyatu. Semburat warna-warnanya seakan teredam dalam komposisi yang sangat terjaga. Begitu juga sebaliknya, komposisi yang penuh torehan-torehan ritmik lebur dalam guyuran warna yang dominan.

Dalam “Sur Le Causse Gramat” umpamanya, struktur bidang-bidang yang ritmik oleh torehan garis-garis pendek yang berulang-ulang nampak luluh dalam warna merah bata yang dominan. Bercak biru, kuning dan ungu hanya mengintip disela-sela tekstur yang menyebar di seluruh bidang kanvas. Begitu juga dalam “Torehan-torehan Di Atas Bidang Putih”, silangan garis-garis pendek vertikal, horizontal dan bahkan diagonal yang disusun berirma, dinamikanya lebur dalam warna putih yang merata.

Begitulah, Umi Dachlan seperti sedang mengejar keseimbangan. Warna-warna kuat seperti merah, kuning, biru, hijau begitu dikendalikan dalam pengorganisasian yang sesuai. Dalam “Kontemplasi I” dan “Kontemplasi II” warna tanah kecoklatan menjadi bidang dominan yang menindih warna biru tua, berkesan sederhana. Kesederhanaan nampak juga pada “Horn Fleur” yang tediri dari bidang-bidang merah dan biru, seperti laut dan langit senja. Sedang pada “Komposisi Tekstur”, “Torehan-torehan Pada Bidang Red Iron Oxida”, “Bidang Tekstur Di Atas Biru” nampak sudah jauh meninggalkan sumbernya, hingga judul-judulnya tak lagi mengacu pada obyek tertentu, tapi langsung menerangkan apa yang terjadi di atas kanvas. Dengan begitu pengamat diberi keleluasaan untuk mengasah kepekaan, dan mengembangkan daya khayal dalam menikmati lukisan.

Selain lukisan-lukisan yang abstrak tadi, ada dua lukisan yang masih menampakkan sumber dengan lebih jelas. Lukisan-lukisan itu diberi judul “Carrida de Toro I” dan “Corrida de Toro II” yang menggambarkan permainan matador di Spanyol. Entah alasan apa yang membuat lukisan kedua lukisan matador ini tidak lebur dalam abstraksi seperti halnya lukisan-lukisan yang lain. Tapi rupanya ada kesan teramat kuat pada pelukis, saat menyaksikan permainan yang mendebarkan itu, hingga dalam abstraksinya pun sosok manusia dan banteng masih tersisa dan bisa dikenali. Lukisan-lukisan ini juga menarik karena mempunyai komposisi yang lain, yang lebih segar, terutama dalam pilihan-pilihan warnanya.

Pameran tunggal yang berlangsung cukup lama ini patut disambut kehadirannya. Di tengah meledaknya boom seni lukis belakangan ini yang didominasi oleh karya-karya piguratif, sajian lukisan-lukisan abstrak dari pelukis yang sudah lima tahun tak pernah pameran tunggal (terakhir di Gedung Summitmas Japan Foundation, 1985) diharapkan akan memperkaya atmosfir seni rupa kita. Lebih-lebih memberikan rangsangan baru pada kreativitas yang terasa mengendor di tengah gemuruhnya produktivitas yang mengacu pada selera pasar semata.

Pelukis yang juga dosen seni lukis di FRSD ITB ini dilahirkan di Cirebon 13 Agustus 1941, sempat memperdalam pengetahuannya dalam bidang desain tekstil di Gerrit Rietveld Kunstaacademie, Belanda. Sejak 1968 puluhan pameran telah diikutinya, baik dalam maupun luar negeri. Sejumlah penghargaan juga disabetnya, di antaranya Wendy Saronsen Award dari New York. Selain melukis, Umi Dachlan pun mengerjakan karya monumental dan mural, mendesain tekstil dan tapestri.

Selain Kartika Affandi dan Maria Tjui, Umi Dachlan termasuk pelukis wanita kita yang senior. Tapi agak sulit untuk membandingkan Umi Dachlan dengan kedua pelukis ekspresionis tadi, yang melukis dengan penuh gelegak emosi. Umi Dachlan nampak lebih dekat pada Ahmad Sadali atau A.D. Pirous yang kontemplatif, yang juga merupakan guru-gurunya. Hanya dibanding dengan Sadali atau Pirous yang lukisan abstraknya mempunyai orientasi kuat pada nilai-nilai religiusitas, karya-karya Umi Dachlan sedikit bergeser konsentrasinya ke wilayah lain, wilayah yang mungkin lebih “membumi” dibanding kedua gurunya tadi. Tapi bukan berarti karya-karya Umi Dachlan tanpa penghayatan spiritual sama sekali (bahkan pada beberapa lukisan saya merasakan kekhusyukan yang mendalam), hanya dalam hal obyek Umi nampak lebih banyak memilih alam, lingkungan dan sesekali sosok manusia untuk lukisan-lukisannya yang abstrak.
(1990)
Prev Next Next