Share |

Artikel 5

PUISI AKSI PENYAIR TUBUH


Acep Zamzam Noor


DALAM beberapa tahun terakhir ini banyak sekali seniman, umumnya dari senirupa dan teater, yang menggandrungi performance art. Di Bandung saja jumlah seniman yang menggeluti kesenian ini cukup banyak. Ada yang merangkap dengan tetap mengerjakan karya seni rupa lain semisal seni lukis, grafis, keramik atau teater seperti dilakukan Tisna Sanjaya, Hendrawan Riyanto, Isa Perkasa atau Rahmat Jabaril, Iman Soleh, Aming D. Rahman dan Gusjur Mahesa, tapi ada juga yang secara total menekuni performance art ini sebagai profesi pilihan seperti Mimi Padmi, Christiawan, Wawan S. Husin, Yoyo Yogasmana, Michael Tjahja dan beberapa lagi.


Sebagai salah satu bentuk kesenian yang masih dianggap “baru”, performance art mempunyai ciri khas yang unik dan menantang karena lahir dari kesadaran subyektif senimannya. Kesadaran tersebut muncul atas respons dari kondisi sosial, politik dan budaya di mana si seniman hidup dan berinteraksi dengan lingkungannya. Keunikan tafsir subyektif ini mengantar performance art ke penyajian kesenian yang bentuknya tidak baku, dan cenderung ganjil. Sebagai sebuah respons individu kreatif yang tunggal, hal tersebut merupakan sebuah perlawanan terhadap produk kebudayaan industri yang bersifat massal dan konsumtif.


Sebagai sebuah tafsir, menurut Christiawan, kesenian baru ini bisa diandaikan sebagai “puisi aksi” atau puisi tentang perilaku. Puisi dapat ditafsirkan secara terbuka oleh pembacanya, di mana imajinasi sebagai basis kreatifnya menawarkan kelonggaran dalam penafsiran maknanya, sedangkan aksi adalah kegiatan atau prilaku manusia. Dalam konteks ini “puisi aksi” adalah pembukaan diri pada hal-hal yang subjektif, ganjil, bawah sadar atau jeprut tapi sekaligus menyiratkan kecerdasan dan menawarkan pencerahan dari si seniman kepada publiknya.


Komunitas Azan menampilkan kesenian ini pada tanggal 27 Oktober 2003 di Gedung Kesenian Tasikmalaya (GKT), mulai pukul 14.00 WIB. Bagi kebanyakan seniman dan publik kesenian di Tasikmalaya istilah performance art sendiri mungkin masih terasa asing meski sebagain dari mereka telah melakukan jenis kesenian ini tanpa memasalahkan istilahnya. Hanya yang dilakukan di kota resik ini masih merupakan respon pada kesenian atau kegiatan lain, misalnya dilakukan pada saat pembukaan pameran lukisan, pembacaan puisi atau pada saat demonstrasi di gedung DPRD. Belum pernah dilakukan sebagi pertunjukan khusus atau mandiri di atas panggung.


Yang ditampilkan Komunitas Azan kali ini adalah para seniman dari kelompok Asbestos, yang merupakan komunitas para performer di Bandung. Di dalamnya terdapat sejumlah seniman terkemuka dengan latar belakang yang berbeda-beda. Ada enam seniman yang masing-masing memainkan satu nomor pertunjukan. Meski tema, konsep dan bentuk pertunjukan dari keenam seniman ini berbeda-beda namun ada sebuah kerangka tema yang membingkai keragaman tersebut. Tema itu bertajuk Polygame, yang berarti banyaknya permainan. Polygame memberikan kebebasan kepada setiap seniman untuk menggali kreativitas dan subjektivitas dari dirinya masing-masing menjadi sebuah pertunjukan. Adapun yang keenam seniman yang tampil adalah Mimi Padmi, Rahmat Jabaril, Wawan S. Husin, Christiawan, Hendrawan Riyanto dan Tisna Sanjaya.


Christiawan yang menjadi salah satu penggagas pertunjukan ini mengatakan, kehidupan manusia tidak dapat dilepaskan dari permainan. Manusia adalah mahluk homo ludens atau mahluk yang memainkan simbol-simbol dalam kehidupan. Dalam Polygame permainan itu terdiri dari manusia, benda yang dimainkan serta aturan permainan itu sendiri. Manusia yang dimaksud adalah seniman yang tampil serta para penonton yang berpartisipasi, sedang benda yang dimainkan adalah perangkat simbolik yang dibawa dan ditawarkan seniman. Aturan mainnya hanyalah kesadaran subjektif seniman dalam menampilkan permainan menjadi sebuah pertunjukan. Permainan ini bisa menghasilkan makna tapi juga nonsens sama sekali, sebab yang terpenting dalam permainan ini adalah respons kesadaran dan pikiran makna maupun olahan bentuk pertunjukan.


Di hadapan publik Tasikmalaya tema Polygame menjadi menarik dan bisa bermakna ganda. Polygame bukan hanya berarti banyaknya permainan namun bisa juga menjadi Poligami yang artinya banyak istri. Perilaku poligami ini memang sedang marak dilakukan para politisi Islam kota santri sebagai wujud dari pelaksanaan syariat agama. Perilaku para politisi ini kemudian diikuti oleh para pegawai negeri yang selama Orde Baru merasa terhambat hasratnya melaksanakan syariat tersebut. Tak heran jika pertunjukan ini dibanjiri ratusan penonton dari berbagai kalangan, termasuk ibu-ibu yang berang pada reformasi karena dianggap telah mengundang hadirnya masalah poligami dalam kehidupan mereka.


Pertunjukan dibuka oleh Mimi Padmi, seorang performer muda yang sudah malang-melintang di dunia internasional. Dari parasnya yang oriental dan sosoknya yang sintal banyak yang mengira bahwa Mimi adalah seorang foto model profesional. Dari tatapan matanya yang mengingatkan kita pada Baby Chu dalam sinetron Meteor Garden, tak banyak yang mengira bahwa gadis muda berkulit halus, berambut lurus dan berdagu tirus ini punya pikiran-pikiran yang cerdas dan sikap yang tegas tentang masalah perempuan.


Mimi memainkan sebuah karya yang berjudul “Selling Fetishsm”, yang merupakan tafsir tentang kekerasan yang dialami perempuan sejak lahir sampai saat kematiannya. Kain batik, pisau, api, majalah dan gambar-gambar porno adalah benda-benda simbolik yang dengan efektif dimainkan Mimi dalam pertunjukan berdurasi 20 menit itu. Mimi yang tampil berani dengan berpakaian mini dari sobekan koran kuning yang hanya menutupi bagian-bagian tertentu tubuhnya saja, mengajak sebagian penonton ke atas panggung untuk berpartisipasi dalam pertunjukannya. Ia sendiri berkeliling ke arena penonton membagikan sobekan-sobekan majalah. Mulai dari siswa SMA yang berjilbab sampai satpam berkumis tebal ikut bergiliran membacakan teks-teks yang ditulis Mimi tentang perempuan. Beberapa saat pertunjukan ini membuat sebagian besar penonton seperti kebingungan, namun adegan simbolis seperti munculnya Mimi dari bentangan kain batik yang disobek tengahnya nampaknya bisa dipahami publik sebagai simbol kelahiran. Begitu juga ketika teks-teks dibacakan, para penonton mulai bisa menebak apa yang ditawarkan Mimi lewat pertunjukannya ini.


Pada pertunjukan kedua tampil Rahmat Jabaril, seorang pelukis yang mempunyai hobi demonstrasi. Seperti biasa Rahmat tampil dengan tema-tema penyadaran politik dan pesan-pesan perdamaian. Kali ini karyanya bertajuk “Lidah Pendusta” yang mengangkat berbagai persoalan bangsa. Di panggung Rahmat membacakan sejumlah cuplikan berita koran tentang berbagai kerusuhan di tanah air. Rahmat pun berganti-ganti kaos yang bertuliskan teks-teks politik. Lalu ia turun ke arah penonton sambil membagikan sobekan kertas putih yang bolong tengahnya dan mengajak mereka berinteraksi dalam sebuah permainan: mengintip dunia dari lubang kertas. Pertunjukan Rahmat ini direspons para seniman Tasikmalaya yang mengiringinya dengan tetabuhan rebana ala pesantren.


Penampilan ketiga adalah Wawan S. Husin, seorang tokoh senior kesenian jeprut. Wawan yang biasanya selalu berkolaborasi dengan seniman-seniman lain, kali ini tampil secara tunggal dengan karyanya yang bertajuk “Lamentation On The Clay Man”. Karya ini pernah ditampilkan di Bandung Art Event 2001 dengan menggunakan media ratusan belut dan lumpur, namun dalam pertunjukannya di Tasikmalaya ia menggantinya dengan tanah liat dan ikan nila. Gagasan yang ditawarkannya adalah pentingnya kesadaran diri akan kefanaan. Kesadaran terhadap diri inilah yang bisa menyelamatkan Indonesia menjadi lebih baik. Wawan memulainya dengan ritual mistis terhadap tanah, air dan api sambil terus menerus menyenandungkan semacam suluk berbahasa Sunda. Ada gerakan bersujud, berdoa dan menari-nari trance seperti dalam tradisi sufi. Karya Wawan S. Husin kali ini sangat kontemplatif, membetot para penonton ke dalam renungan tentang diri yang dalam. Para penonton nampak terpaku ketika Wawan dengan khusyuk bergelut dengan air dan tanah yang menjadi lumpur, memainkan api dan ikan nila, menyatukan tubuhnya, suaranya dan kesadarannya ke dalam anasir alam. Ia sedang mencari jawaban dari dalam dirinya tentang berbagai persoalan bangsa.


Setelah Wawan S. Husin yang khusyuk, mistis dan religius, muncul Christiawan yang dingin, kaku, gundul dan masokis. Dengan tema yang hampir sama dengan Wawan, yakni pentingnya kesadaran diri, Christiawan mengusung karya yang berjudul “Seni Kepribadian” dalam atmosfir yang tegang dan mencekam. Tanpa diiringi musik kecuali dengus nafasnya sendiri seniman berkepala gundul ini meneguhkan kesadaran dirinya dengan cara melukai diri sendiri. Ia menggunakan dua gunting untuk memotong pakaian yang melekat di tubuhnya, termasuk sepatunya. Ia lakukan secara perlahan. Lalu mengerat kulit lengannya sendiri dengan pisau hingga mengeluarkan darah, juga ia lakukan perlahan penuh penikmatan. Terakhir dengan cuek ia membentur-benturkan skop ke jidatnya hingga menimbulkan bunyi yang menyakitkan telinga. Para penonton menahan nafas, sebagaian menutup mata dan menjerit-jerit. Penampilan Christiawan sangat menegangkan.


Hendrawan Riyanto yang tampil berikutnya berusaha mengembalikan suasana menjadi santai. Dengan dibantu seorang dalang ia menggelar pertunjukan yang bertajuk “Inisiasi 2002”. Tema yang diangkat sangat kontekstual, yakni perihal kondisi sosial dan perilaku masyarakat kita akhir-akhir ini. Hendrawan menyediakan ratusan butir telur ayam dan mengajak penonton mengikuti sebuah permainan: melempar dirinya dengan telur. Dengan berganti-ganti kostum, mulai dari kostum mahasiswa, pejabat, pengusaha, teroris dan ulama, Hendrawan menjadikan dirinya yang siap dilempari. Permainan ini sangat menarik sebab ternyata penonton hanya berani melemparkan telur pada tokoh-tokoh tertentu saja. Tokoh mahasiswa (demonstran), pejabat, pengusaha dan teroris (yang berkostum Arab) adalah yang banyak dilempari penonton, sedang tokoh ulama tidak ada yang melempar sama sekali. Reaksi penonton sangat spontan menyambut tantangan Hendrawan ini sekaligus menjadi sangat simbolis bahwa di mata masyarakat (penonton) hanya tokoh ulama yang masih dihormati. Permainan ini mungkin akan berbeda hasilnya jika digelar di kota lain misalnya.


Tisna Sanjaya yang tampil terakhir naik panggung dengan santai. Ia membawa bola dan mengajak penonton membentuk dua tim sepakbola. Bergaya seorang pelatih ia berorasi tentang makna sepakbola dalam perdamaian dunia. Ia menawarkan Tasikmalaya untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia Sepak Bola untuk Perdamaian tahun 2003. Ia akan melobi seluruh kedutaan di Jakarta untuk mengirim timnya ke Tasikmalaya, termasuk kedutaan negara-negara yang sedang bertikai. Seluruh permasalahan yang membuat negara-negara bermusuhan bisa diselesaikan dengan sepakbola, katanya yakin.


Setelah penonton membentuk dua tim, Tisna membawa mereka ke luar ruangan dan bermain sepakbolalah kedua tim tersebut di halaman gedung kesenian. Tisna yang memakai kostum Jerman memberi tajuk karya performance-nya ini sebagai “Jago Bonito, Balik Bandung”. Karya ini pernah digelar di Bandung, Yogyakarta dan konsepnya sempat dibawa ke Paris. Penonton yang terlibat dalam tim sangat menikmati permainan Tisna ini dengan bermain sepakbola secara serius, sementara yang lainnya terbengong-bengong. “Kok ada kesenian seperti ini ya?” bisik seorang pegawai Dinas P dan K yang masih berseragam.

(2003)


Prev Next Next