Share |

Artikel 23

MENGHARGAI GARIS

Acep Zamzam Noor


HERU Hikayat, seorang mahasiswa FSRD ITB, baru saja menggelar karya-karyanya di Gelanggang Generasi Muda (GGM) Tasikmalaya. Pameran yang berlangsung 12 sampai 20 Oktober 1996 lalu cukup meriah. Selain pembukaannya diisi oleh performance art dari Teater Dongkrak, juga dimeriahkan oleh pagelaran musik dari mahasiswa Unpad, IKIP Bandung serta Komunitas Nagarakasih – di samping kehadiran Semsar Siahaan, seorang pelukis, pematung dan tokoh seni instalasi kenamaan dari Jakarta.

Dalam pameran tunggalnya yang pertama ini, Heru menampilkan gambar (drawing) dan lukisan. Mengamati karya-karya Heru Hikayat, terutama karya-karya gambarnya, ada kesan bahwa Heru sedang berusaha untuk menempatkan gambar sebagai karya yang mandiri, yang kedudukannya sejajar dengan lukisan atau grafis. Di tangan Heru gambar nampak dilepaskan dari citra lamanya sebagai karya studi atau karya persiapan sebelum melukis “serius” di atas kanvas, sebagaimana anggapan umum selama ini. Apa yang dilakukan Heru mungkin bukan sesuatu yang baru, sebab beberapa seniman sebelumnya seperti Semsar Siahaan, Agus Suwage, Tisna sanjaya dan Isa Perkasa juga melakukan hal yang sama. Tapi apa yang dilakukan Heru kali ini menjadi sebuah pertanda bahwa beberapa seniman kontemporer kita nampaknya sedang serius mengangkat harkat karya gambar sebagai karya yang mandiri, sebagai media ekspresi yang tak kalah nilainya dengan lukisan itu sendiri.

Memang sebagai media ekspresi, gambar (yang biasanya menggunakan pensil, konte atau tinta di atas kertas) mempunyai nilai kespontanan dan kepekaan yang berbeda dengan melukis memakai kwas. Dalam gambar, garis mempunyai peranan yang sangat penting. Bentuk atau bidang tercipta karena tumpukan garis dari ujung pensil atau konte. Begitu juga volume. Bagi sementara seniman, mungkin pensil atau konte ini mempunyai nilai lebih dibanding cat minyak atau akrilik yang terkesan mahal. Dalam hal ketajaman atau ketegasan misalnya, garis-garis yang dihasilkan ujung pensil jelas sulit dicapai dengan kwas cat minyak.

Heru Hikayat adalah seorang pelukis yang nampaknya sangat menghargai garis. Ia memulai karya-karyanya dari garis. Kebiasaannya mencoret-coret kertas, melakukan studi terhadap tema atau obyek tertentu rupanya telah membuat Heru tertarik dan mencoba mengembangkan gambar sebagai media ekspresinya. Heru melakukan ini bukan tanpa alasan, tapi justru karena menyadari potensi garis dalam mewujudkan tema yang sedang digelutinya. Dengan garis ia bukan saja bisa membentuk, membikin volume gelap terang atau mengisi bidang, tapi juga ia bisa menuliskan kata-kata atau menyelipkan penggalan puisi ke dalam gambar.

Seperti halnya seniman-seniman muda lainnya, tema yang digeluti Heru adalah tentang keterasingan dirinya di tengah lingkungan sosial dan dunia benda-benda. Ia banyak menggambarkan dirinya sebagai orang yang tak berdaya, kalah dan terpuruk. Heru membuat sebuah serial gambar yang diberinya judul “Ode Untuk Orang Kalah”, yang menggambarkan sosok manusia yang terpuruk di bawah meja. Sosok yang digambarkan Heru nampak begitu kurus dengan tulang-tulangnya yang menonjol, jari-jarinya meregang dan tatapan kosong. Seri karya hitam-putih ini terasa mencekam jika diamati secara keseluruhan. Ada semacam metamorfosis, perubahan bentuk menuju abstraksi, dengan arsiran garis yang mengarah pada warna kelam.

Satu hal yang perlu dicatat, meskipun tema yang digarap Heru adalah masalah sosial, namun karya-karyanya tidak menuding orang lain atau memprotes pemerintah, misalnya. Heru justru melihat ke dalam dirinya sendiri. Sosok-sosok yang digambarkan Heru selalu dalam posisi tepekur, menunduk dan melihat dirinya sendiri yang tak berdaya. Hal ini juga nampak pada karya-karyanya yang berjudul “Ini Aku Di Sini, Di Kolong Meja”, “Pasfoto Di Kolong Meja” atau “Mencari Dan Kehilangan”. Tangan, kaki, punggung yang melengkung di antara kaki-kaki meja yang kokoh, kepala yang hanya berwujud bulatan hitam. Idiom ini terus berulang dari kertas ke kertas, dari gambar ke gambar.

Pada karya-karya gambar berikutnya, Heru nampak ingin memperjelas posisi dirinya di tengah gemuruhnya media informasi sebagai akibat dari globalisasi dunia yang terbendung. Heru menggambarkan potret dirinya yang penyok, dengan kepala terkuak bagian atasnya hingga nampak otaknya yang penuh dengan angka-angka. Heru seperti ingin memperlihatkan isi kepalanya yang sudah terkontaminasi oleh televisi, koran dan media-media informasi lainnya. Dalam karyanya yang berjudul “Kotak Hitam, Kotak Hitam ”, “Pura-pura Tahu”, “Aku Tak Tahu Apa Isinya, Tapi Dia Akrab Sekali”, Heru bahkan langsung menggambar televisi itu sendiri. Sebuah benda ajaib yang cukup intens diamatinya. Televisi digambarkan sebagai kotak hitam yang berhadapan langsung dengan manusia, bahkan seperti ingin menelan manusia.

Dalam pameran ini selain menampilkan karya-karya gambarnya, Heru juga menampilkan beberapa lukisan cat minyak. Berbeda dengan karya-karya gambarnya yang secara teknis seperti mengalir dan tak ada hambatan, karya-karya cat minyaknya nampak tersendat dan terkesan masih ada persoalan teknis yang belum dituntaskan. Memang Heru juga mempergunakan garis yang cukup menonjol dalam karya-karya cat minyaknya ini. Hanya saja garis yang dihasilkan dari plototan tube dan goresan palet impresinya sangat lain dengan yang dihasilkan ujung pensil atau konte yang tajam dan sensitif. Antara garis-garis dari plototan tube dan bidang-bidang warna di belakangnya nampak belum mengesankan kesatuan. Hal ini terutama pada karya-karyanya yang berobyek televisi.

Sekitar 30-an karya gambar dan lukisan cat minyak yang dipamerkan kepada masyarakat Tasikmalaya nampak masih merupakan karya-karya awal dari kepelukisan Heru Hikayat. Masih merupakan proses dari pencariannya yang mungkin saja akan berubah dari waktu ke waktu. Kini pelukis yang selalu berkepala plontos ini masih tercatat sebagai mahasiswa FSRD ITB. Dengan demikian waktu yang terbentang di hadapannya masih cukup panjang. Satu hal yang menggembirakan, Heru telah menjalani babak awal ini dengan intensitas yang cukup tinggi dalam berkesenian, hingga ia pun tak risih bersinggungan dengan kesenian lain semacam sastra, teater atau musik. Dan pameran tunggalnya yang pertama, yang digelar di Tasikmalaya jelas punya tujuan kuat: ia ingin memulai dari bawah, dari akar, dari proses itu sendiri. Ia ingin menghargai proses seperti halnya menghargai garis, sebagai salah satu unsur yang paling dasar namun sangat penting dalam kerja senirupa.

(1996)

Prev Next Next